AYAT AL QURAN DAN ALAM SEMESTA
Dalam Surat al-Isra ayat ke-88, Allah
menunjukkan keagungan Al Quran: “Katakanlah: 'Sesungguhnya jika manusia dan
jin ber-kumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini; niscaya me-reka tidak
akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun seba-gian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain.'” (QS. Al Israa’, 17: 88)
Allah menurunkan Al Quran kepada
manusia empat belas abad yang lalu. Beberapa fakta yang baru dapat diungkapkan
dengan teknologi abad ke-21 ternyata telah dinyatakan Allah dalam Al Quran
empat belas abad yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa Al Quran adalah salah
satu bukti terpenting yang memungkinkan kita mengetahui keberadaan Allah.
Dalam Al Quran, terdapat banyak bukti
bahwa Al Quran berasal dari Allah, bahwa umat manusia tidak akan pernah mampu
membuat sesuatu yang menyerupainya. Salah satu bukti ini adalah ayat-ayat
(tanda-tanda) Al Quran yang terdapat di alam semesta.
Sesuai dengan ayat “Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru
dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia
menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilaat, 41: 53), banyak informasi yang
ada dalam Al Quran ini sesuai dengan yang ada di dunia eksternal. Allah-lah
yang telah menciptakan alam semesta dan karenanya memiliki pengetahuan mengenai
semua itu. Allah juga yang telah menurunkan Al Quran. Bagi orang-orang beriman
yang teliti, sungguh-sungguh, dan arif, banyak sekali informasi dan analisis
dalam Al Quran yang dapat mereka lihat dan pelajari.
Meskipun demikian, perlu diingat
bahwa Al Quran bukanlah buku ilmu pengetahuan. Tujuan diturunkannya Al Quran
adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat-ayat berikut:
“Alif lam ra. (Ini adalah) Kitab yang
Kami turunkan kepadamu su-paya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita
kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan Yang Mahakuasa lagi Maha
Terpuji.” (QS. Ibrahim, 14: 1) !
“… untuk menjadi petunjuk dan
peringatan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al Mu'min, 40: 54) !
Singkatnya, Allah menurunkan Al Quran
sebagai petunjuk bagi orang-orang beriman. Al Quran menjelaskan kepada manusia
cara men-jadi hamba Allah dan mencari ridha-Nya.
Betapapun, Al Quran juga memberi informasi
dasar mengenai bebe-rapa hal seperti penciptaan alam semesta, kelahiran
manusia, struktur atmosfer, dan keseimbangan di langit dan di bumi. Kenyataan
bahwa informasi dalam Al Quran tersebut sesuai dengan temuan terbaru ilmu
pengetahuan modern adalah hal penting, karena kesesuaian ini mene-gaskan bahwa
Al Quran adalah “firman Allah”. Menurut ayat “Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. An-Nisaa’,
4: 82), terdapat keserasian yang luar biasa antara pernyataan di dalam Al Quran
dan dunia eksternal.
Pada halaman-halaman berikut kita
akan membahas kesamaan yang luar biasa antara informasi tentang alam semesta
yang ada dalam Al Quran dan dalam ilmu pengetahuan.
Teori Dentuman Besar (Big Bang) dan Ajarannya
Persoalan mengenai bagaimana alam
semesta yang tanpa cacat ini mula-mula terbentuk, ke mana tujuannya, dan
bagaimana cara kerja hu-kum-hukum yang menjaga keteraturan dan keseimbangan,
sejak dulu merupakan topik yang menarik.
Pendapat kaum materialis yang berlaku
selama beberapa abad hing-ga awal abad ke-20 menyatakan, bahwa alam semesta
memiliki dimensi tak terbatas, tidak memiliki awal, dan akan tetap ada untuk
selamanya. Menurut pandangan ini, yang disebut “model alam semesta yang
statis”, alam semesta tidak memiliki awal maupun akhir.
Dengan memberikan dasar bagi filosofi
materialis, pandangan ini menyangkal adanya Sang Pencipta, dengan menyatakan
bahwa alam semesta ini adalah kumpulan materi yang konstan, stabil, dan tidak
berubah-ubah. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-20
menghancurkan konsep-konsep primitif seperti model alam semesta yang statis.
Saat ini, pada awal abad ke-21, melalui sejumlah besar percobaan, pengamatan,
dan perhitungan, fisika modern telah mencapai kesimpulan bahwa alam semesta
memiliki awal, bahwa alam diciptakan dari ketiadaan dan dimulai oleh suatu
ledakan besar.
Selain itu, berlawanan dengan
pendapat kaum materialis, kesim-pulan ini menyatakan bahwa alam semesta
tidaklah stabil atau konstan, tetapi senantiasa bergerak, berubah, dan memuai.
Saat ini, fakta-fakta tersebut telah diakui oleh dunia ilmu pengetahuan.
Sekarang, marilah kita lihat bagaimana fakta-fakta yang sangat penting ini
dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.
Pemuaian Alam Semesta
Pada tahun 1929, di observatorium
Mount Wilson di California, seorang astronom Amerika bernama Edwin Hubble
membuat salah satu temuan terpenting dalam sejarah astronomi. Ketika tengah
mengamati bintang dengan teleskop raksasa, dia menemukan bahwa cahaya yang
dipancarkan bintang-bintang bergeser ke ujung merah spektrum. Ia pun menemukan
bahwa pergeseran ini terlihat lebih jelas jika bintangnya lebih jauh dari bumi.
Temuan ini menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Berdasarkan hukum-hukum fisika
yang diakui, spektrum sinar cahaya yang bergerak mendekati titik pengamatan
akan cenderung ungu, sementara sinar cahaya yang bergerak menjauhi titik
pengamatan akan cenderung merah. Pengamatan Hubble menunjukkan bahwa cahaya
dari bintang-bintang cenderung ke arah warna merah. Ini berarti bahwa
bintang-bintang tersebut senantiasa bergerak menjauhi kita.
Tidak lama sesudah itu, Hubble
membuat temuan penting lainnya: Bintang dan galaksi bukan hanya bergerak
men-jauhi kita, namun juga saling menjauhi. Satu-satunya kesimpulan yang dapat
dibuat tentang alam semesta yang semua isinya bergerak saling menjauhi adalah
bahwa alam semesta itu senantiasa memuai.
Agar lebih mudah dimengerti,
bayangkan alam semesta seperti permukaan balon yang tengah ditiup. Sama seperti
titik-titik pada per-mukaan balon akan saling menjauhi karena balon-nya
mengembang, benda-benda di angkasa saling menjauhi karena alam semesta terus
memuai. Sebenarnya, fakta ini sudah pernah ditemukan secara teoretis. Albert
Einstein, salah seorang il-muwan termasyhur abad ini, ketika mengerjakan Teori
Relativitas Umum, pada mulanya menyim-pulkan bahwa persamaan yang dibuatnya
me-nunjukkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis. Namun, dia meng-ubah
persamaan tersebut, dengan menambahkan sebuah “konstanta” un-tuk menghasilkan
model alam semesta yang statis, karena hal ini merupa-kan ide yang dominan saat
itu. Di kemudian hari Einstein menyebut perbuatannya itu sebagai “kesalahan
terbesar dalam kariernya”.
Jadi, apakah pentingnya fakta
pemuaian alam semesta ini terhadap keberadaan alam semesta?
Pemuaian alam semesta secara tidak
langsung menyatakan bahwa alam semesta bermula dari satu titik tunggal. Hasil
perhitungan menun-jukkan bahwa “satu titik tunggal” yang mengandung semua
materi alam semesta ini pastilah memiliki “volume nol” dan “kepadatan tak
terbatas”. Alam semesta tercipta akibat meledaknya titik tunggal yang memiliki
vo-lume nol tersebut. Ledakan hebat yang menandakan awal terbentuknya alam
semesta ini dinamakan Dentuman Besar (Big Bang), dan teori ini di-namai
mengikuti nama ledakan tersebut.
Harus dikatakan di sini bahwa “volume
nol” adalah istilah teoretis yang bertujuan deskriptif. Ilmu pengetahuan hanya
mampu mendefi-nisikan konsep “ketiadaan”, yang melampaui batas pemahaman
manu-sia, dengan menyatakan titik tunggal tersebut sebagai “titik yang
memi-liki volume nol”. Sebenarnya, “titik yang tidak memiliki volume” ini
ber-arti “ketiadaan”. Alam semesta muncul dari ketia-daan. Dengan kata lain,
alam semesta diciptakan.
Fakta ini, yang baru ditemukan oleh
fisika modern pada akhir abad ini, telah diberitakan Al Quran empat belas abad
yang lalu:“Dia Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al An'aam, 6:101)
Jika kita membandingkan pernyataan
pada ayat di atas dengan teori Ledakan Besar, terlihat kesamaan yang sangat
jelas. Namun, teori ini baru diperkenalkan sebagai teori ilmiah pada abad
ke-20.
Pemuaian alam semesta merupakan salah
satu bukti terpenting bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan. Meskipun
fakta di atas baru ditemukan pada abad ke-20, Allah telah memberitahukan
kenyataan ini kepada kita dalam Al Quran 1.400 tahun yang lalu:
“Dan langit itu Kami bangun dengan
kekuasaan (Kami) dan sesung-guhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS.
Adz-Dzariyaat, 51: 47) !
Pada tahun 1948, George Gamov
mengemukakan gagasan lain me-ngenai teori Ledakan Besar. Dia menyatakan bahwa
setelah terbentuknya alam semesta dari ledakan hebat, di alam semesta
seharusnya terdapat surplus radiasi, yang tersisa dari ledakan tersebut. Lebih
dari itu, radiasi ini seharusnya tersebar merata di seluruh alam semesta.
Bukti “yang seharusnya ada” ini
segera ditemukan. Pada tahun 1965, dua orang peneliti bernama Arno Penzias dan
Robert Wilson, menemu-kan gelombang ini secara kebetulan. Radiasi yang disebut
“radiasi latar belakang” ini tampaknya tidak memancar dari sumber tertentu,
tetapi meliputi seluruh ruang angkasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
gelombang panas yang memancar secara seragam dari segala arah di angkasa ini
merupakan sisa dari tahapan awal Ledakan Besar. Penzias dan Wilson dianugerahi
Hadiah Nobel untuk temuan ini.
Pada tahun 1989, NASA mengirimkan
satelit Cosmic Background Explorer (COBE) ke angkasa untuk melakukan penelitian
mengenai radiasi latar belakang. Pemindai sensitif pada satelit hanya
membutuhkan waktu delapan menit untuk menegaskan perhitungan Penzias dan
Wilson. COBE telah menemukan sisa-sisa ledakan hebat yang mengawali
terbentuknya alam semesta.
Bukti penting lain berkenaan dengan
Ledakan Besar adalah jumlah hidrogen dan helium di ruang angkasa. Pada
penghitungan terbaru, diketahui bahwa konsentrasi hidrogen-helium di alam
semesta sesuai dengan penghitungan teoretis konsentrasi hidrogen-helium yang
tersisa dari Ledakan Besar. Jika alam semesta tidak memiliki awal dan jika alam
semesta ada sejak adanya keabadian (waktu yang tak terhingga), seharusnya
hidrogen terpakai seluruhnya dan diubah menjadi helium.
Semua bukti kuat ini memaksa
komunitas ilmiah untuk menerima teori Ledakan Besar. Model ini merupakan titik
terakhir yang dicapai oleh para ahli kosmologi berkaitan dengan awal mula dan
pembentukan alam semesta.
Dennis Sciama, yang membela teori
keadaan ajeg (steady-state) bersa-ma Fred Hoyle selama bertahun-tahun,
menggambarkan posisi terakhir yang mereka capai setelah terkumpulnya semua
bukti tentang teori Ledakan Besar. Sciama mengatakan bahwa ia telah ambil
bagian dalam perdebatan sengit antara para pembela teori keadaan ajeg dan
mereka yang menguji dan berharap dapat menyangkal teori tersebut. Dia
me-nambahkan bahwa dulu dia membela teori keadaan ajeg bukan karena menganggap
teori tersebut benar, melainkan karena berharap bahwa teori itu benar. Fred
Hoyle bertahan menghadapi semua keberatan terha-dap teori ini, sementara
bukti-bukti yang berlawanan mulai terungkap. Selanjutnya, Sciama bercerita
bahwa pertama-tama ia menentang bersa-ma Hoyle. Akan tetapi, saat bukti-bukti
mulai bertumpuk, ia mengaku bahwa perdebatan tersebut telah selesai dan teori keadaan
ajeg harus dihapuskan.
Prof. George Abel dari University of
California juga mengatakan bah-wa sekarang telah ada bukti yang menunjukkan
bahwa alam semesta ber-mula miliaran tahun yang lalu, yang diawali dengan
Dentuman Besar. Dia mengakui bahwa dia tidak memiliki pilihan lain kecuali
menerima teori Dentuman Besar.
Dengan kemenangan teori Dentuman
Besar, konsep “zat yang kekal” yang merupakan dasar filosofi materialis dibuang
ke tumpukan sampah sejarah. Jadi, apakah yang ada sebelum Dentuman Besar, dan
kekuatan apakah yang menjadikan alam semesta ini “ada” melalui sebuah dentum-an
besar, jika sebelumnya alam semesta ini “tidak ada”? Pertanyaan ini jelas
menyiratkan, dalam kata-kata Arthur Eddington, adanya fakta “yang tidak
menguntungkan secara filosofis” (tidak menguntungkan bagi materialis), yaitu
adanya Sang Pencipta. Athony Flew, seorang filsuf ateis terkenal, berkomentar
tentang hal ini sebagai berikut:
Semua orang tahu bahwa pengakuan itu
baik bagi jiwa. Oleh karena itu, saya akan memulai dengan mengaku bahwa kaum
ateis Strato-nician telah dipermalukan oleh konsensus kosmologi kontemporer.
Tampaknya ahli kosmologi memiliki bukti-bukti ilmiah tentang hal yang menurut
St. Thomas tidak dapat dibuktikan secara filosofis; yaitu bahwa alam semesta
memiliki permulaan. Sepanjang alam semesta dapat dianggap tidak memiliki akhir
maupun permulaan, orang tetap mudah menyatakan bahwa keberadaan alam semesta,
dan segala sifatnya yang paling mendasar, harus diterima sebagai penjelasan
terakhir. Meskipun saya masih percaya bahwa hal ini tetap benar, tetapi
benar-benar sulit dan tidak nyaman mempertahankan posisi ini di depan cerita
Dentuman Besar.
Banyak ilmuwan, yang tidak secara
buta terkondisikan menjadi ateis, telah mengakui keberadaan Yang Maha Pencipta
dalam penciptaan alam semesta. Sang Pencipta pastilah Dia yang menciptakan zat
dan ruang/ waktu, tetapi Dia tidak bergantung pada ciptaannya. Seorang ahli
astro-fisika terkenal bernama Hugh Ross mengatakan:
Jika waktu memiliki awal yang
bersamaan dengan alam semesta, seperti yang dikatakan teorema-ruang, maka
penyebab alam semesta pastilah suatu wujud yang bekerja dalam dimensi waktu
yang benar-benar independen dari, dan telah ada sebelum, dimensi waktu kosmos.
Kesimpulan ini sangat penting bagi pemahaman kita tentang siapakah Tuhan, dan
siapa atau apakah yang bukan Tuhan. Hal ini mengajarkan bahwa Tuhan bukanlah
alam semesta itu sendiri, dan Tuhan tidak berada di dalamnya
Zat dan ruang/waktu diciptakan oleh
Yang Maha Pencipta, yaitu Dia yang terlepas dari gagasan tersebut. Sang
Pencipta adalah Allah, Dia adalah Raja di surga dan di bumi.
Allah memberi tahu bukti-bukti ilmiah
ini dalam Kitab-Nya, yang Dia turunkan kepada kita manusia empat belas abad
lalu untuk menun-jukkan keberadaan-Nya.
Kesempurnaan di Alam Semesta
“Yang telah menciptakan tujuh langit
berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha
Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan
penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” ( QS. Al Mulk, 67: 3 - 4) !
Di alam semesta, miliaran bintang dan
galaksi yang tak terhitung jumlahnya bergerak dalam orbit yang terpisah.
Meskipun demikian, se-muanya berada dalam keserasian. Bintang, planet, dan
bulan beredar pa-da sumbunya masing-masing dan dalam sistem yang ditempatinya
ma-sing-masing. Terkadang galaksi yang terdiri atas 200-300 miliar bintang bergerak
melalui satu sama lain. Selama masa peralihan dalam beberapa contoh yang sangat
terkenal yang diamati oleh para astronom, tidak terjadi tabrakan yang
menyebabkan kekacauan pada keteraturan alam semesta.
Di seluruh alam semesta, besarnya
kecepatan benda-benda langit ini sangat sulit dipahami bila dibandingkan dengan
standar bumi. Jarak di ruang angkasa sangatlah besar bila bandingkan dengan
pengukuran yang dilakukan di bumi. Dengan ukuran raksasa yang hanya mampu
digambarkan dalam angka saja oleh ahli matematika, bintang dan planet yang
bermassa miliaran atau triliunan ton, galaksi, dan gugus galaksi bergerak di
ruang angkasa dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Misalnya, bumi berotasi pada sumbunya
dengan kecepatan rata-rata 1.670 km/jam. Dengan mengingat bahwa peluru tercepat
memiliki kece-patan rata-rata 1.800 km/jam, jelas bahwa bumi bergerak sangat
cepat meskipun ukurannya sangat besar.
Kecepatan orbital bumi mengitari
matahari kurang-lebih enam kali lebih cepat dari peluru, yakni 108.000 km/jam.
(Andaikan kita mampu membuat kendaraan yang dapat bergerak secepat ini,
kendaraan ini dapat mengitari bumi dalam waktu 22 menit.)
Namun, angka-angka ini baru mengenai
bumi saja. Tata surya bah-kan lebih menakjubkan lagi. Kecepatan tata surya
mencapai tingkat di luar batas logika manusia. Di alam semesta, meningkatnya
ukuran suatu tata surya diikuti oleh meningkatnya kecepatan. Tata surya beredar
mengitari pusat galaksi dengan kecepatan 720.000 km/jam. Kecepatan Bima Sakti
sendiri, yang terdiri atas 200 miliar bintang, adalah 950.000 km/jam di ruang
angkasa.
Kecepatan yang luar biasa ini
menunjukkan bahwa hidup kita berada di ujung tanduk. Biasanya, pada suatu
sistem yang sangat rumit, kecela-kaan besar sangat sering terjadi. Namun,
seperti diungkapkan Allah da-lam ayat di atas, sistem ini tidak memiliki
“cacat” atau “tidak seimbang”. Alam semesta, seperti juga segala sesuatu yang
ada di dalamnya, tidak dibiarkan “sendiri” dan sistem ini bekerja sesuai dengan
keseimbangan yang telah ditentukan Allah.
Orbit dan Alam Semesta yang Berotasi
Salah satu sebab utama yang
menghasilkan keseimbangan di alam semesta, tidak diragukan lagi, adalah
beredarnya benda-benda angkasa sesuai dengan orbit atau lintasan tertentu.
Walaupun baru diketahui akhir-akhir ini, orbit ini telah ada di dalam Al Quran:
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam
dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam
garis edarnya.” (QS. Al Anbiyaa’, 21: 33) !
Bintang, planet, dan bulan berputar
pada sumbunya dan dalam sis-temnya, dan alam semesta yang lebih besar bekerja
secara teratur seperti pada roda gigi suatu mesin. Tata surya dan galaksi kita
juga bergerak mengitari pusatnya masing-masing. Setiap tahun bumi dan tata
surya bergerak 500 juta kilometer menjauhi posisi sebelumnya. Setelah
dihi-tung, diketahui bahwa bila suatu benda langit menyimpang sedikit saja dari
orbitnya, hal ini akan menyebabkan hancurnya sistem tersebut. Misalnya, marilah
kita lihat apa yang akan terjadi bila orbit bumi menyim-pang 3 mm lebih besar
atau lebih kecil dari yang seharusnya.
Selagi berotasi mengitari matahari,
bumi mengikuti orbit yang berdeviasi sebesar 2,8 mm dari lintasannya yang benar
setiap 29 km. Orbit yang diikuti bumi tidak pernah berubah karena penyimpangan
sebesar 3 mm akan menyebabkan kehancuran yang hebat. Andaikan penyimpangan
orbit adalah 2,5 mm, dan bukan 2,8 mm, orbit bumi akan menjadi sangat luas dan
kita semua akan membeku. Andaikan penyimpangan orbit adalah 3,1 mm, kita akan
hangus dan mati. (Bilim ve Teknik, Juli 1983)
Matahari
Berjarak 150 juta km dari bumi,
matahari menyediakan energi yang kita butuhkan secara terus-menerus.
Pada benda angkasa yang berenergi
sangat besar ini, atom hidrogen terus-menerus berubah menjadi helium. Setiap
detik 616 miliar ton hidro-gen berubah menjadi 612 miliar ton helium. Selama
sedetik itu, energi yang dihasilkan sebanding dengan ledakan 500 juta bom atom.
Kehidupan di bumi dimungkinkan oleh
adanya energi dari matahari. Keseimbangan di bumi yang tetap dan 99% energi
yang dibutuhkan un-tuk kehidupan disediakan oleh matahari. Separo energi ini
kasatmata dan berbentuk cahaya, sedangkan sisanya berbentuk sinar ultraviolet,
yang tidak kasatmata, dan berbentuk panas.
Sifat lain dari matahari adalah
memuai secara berkala seperti lonceng. Hal ini berulang setiap lima menit dan
permukaan matahari bergerak mendekat dan menjauh 3 km dari bumi dengan
kecepatan 1.080 km/jam.
Matahari hanyalah salah satu dari 200
juta bintang dalam Bimasakti. Meskipun 325.599 kali lebih besar dari bumi,
matahari merupakan salah satu bintang kecil yang terdapat di alam semesta.
Matahari berjarak 30.000 tahun cahaya dari pusat Bimasakti, yang berdiameter
125.000 tahun cahaya. (1 tahun cahaya = 9.460.800.000.000 km.)
Perjalanan Matahari
“Dan matahari berjalan di tempat
peredarannya. Demikianlah kete-tapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Yaasin, 36: 38) !
Berdasarkan perhitungan para
astronom, akibat aktivitas galaksi kita, matahari berjalan dengan kecepatan
720.000 km/jam menuju Solar Apex, suatu tempat pada bidang angkasa yang dekat
dengan bintang Vega. (Ini berarti matahari bergerak sejauh kira-kira 720.000x24
= 17.280.000 km dalam sehari, begitu pula bumi yang bergantung padanya.)
Langit Tujuh Lapis
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit
dan seperti itu pula bumi.” (QS. Ath-Thaalaq, 65: 12) !
Dalam Al Quran Allah menyebutkan
tujuh surga atau langit. Ketika ditelaah, atmosfer bumi ternyata terbentuk dari
tujuh lapisan. Di atmosfer terdapat suatu bidang yang memisahkan lapisan dengan
lapisan. Berdasarkan Encyclopedia Americana (9/188), lapisan-lapisan yang
berikut ini bertumpukan, bergantung pada suhu.
Lapisan pertama TROPOSFER: Lapisan
ini mencapai ketebalan 8 km di kutub dan 17 km di khatulistiwa, dan mengandung
sejumlah besar awan. Setiap kilometer suhu turun sebesar 6,5C, bergantung pada
ke-tinggian. Pada salah satu bagian yang disebut tropopause, yang dilintasi
arus udara yang bergerak cepat, suhu tetap konstan pada 57C.
Lapisan kedua STRATOSFER: Lapisan ini
mencapai ketinggian 50 km. Di sini sinar ultraviolet diserap, sehingga panas
dilepaskan dan suhu mencapai 0C. Selama penyerapan ini, dibentuklah lapisan
ozon yang penting bagi kehidupan.
Lapisan ketiga MESOSFER: Lapisan ini
mencapai ketinggian 85 km. Di sini suhu turun hingga 100C.
Lapisan keempat TERMOSFER:
Peningkatan suhu berlangsung lebih lambat
Lapisan kelima IONOSFER: Gas pada
lapisan ini berbentuk ion. Komunikasi di bumi menjadi mungkin karena gelombang
radio dipantulkan kembali oleh ionosfer.
Lapisan keenam EKSOSFER: Karena
berada di antara 500 dan 1000 km, karakteristik lapisan ini berubah sesuai
aktivitas matahari.
Lapisan ketujuh MAGNETOSFER: Di
sinilah letak medan magnet bumi. Penampilannya seperti suatu bidang besar yang
kosong. Partikel subatom yang bermuatan energi tertahan pada suatu daerah yang
disebut sabuk radiasi Van Allen.
Gunung Mencegah Gempa Bumi
“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang
kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya
bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembangbiakkan padanya segala
macam jenis binatang.” (QS. Luqman, 30: 10)
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi
itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak?” (QS. An-Naba’, 78: 7)
Informasi yang diperoleh melalui
penelitian geologi tentang gunung sangatlah sesuai dengan ayat Al Quran. Salah
satu sifat gunung yang paling signifikan adalah kemunculannya pada titik
pertemuan lempeng-an-lempengan bumi, yang saling menekan saat saling mendekat,
dan gunung ini “mengikat” lempengan-lempengan tersebut. Dengan sifat ter-sebut,
pegunungan dapat disamakan seperti paku yang menyatukan kayu.
Selain itu, tekanan pegunungan pada
kerak bumi ternyata mencegah pengaruh aktivitas magma di pusat bumi agar tidak
mencapai permu-kaan bumi, sehingga mencegah magma menghancurkan kerak bumi.
Air Laut Tidak Saling Bercampur
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang
keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh
masing-masing.” (QS. Ar-Rahmaan, 55: 19-20) !
Pada ayat di atas ditekankan bahwa
dua badan air bertemu, tetapi tid-ak saling bercampur akibat adanya batas.
Bagaimana ini dapat terjadi? Biasanya, bila air dari dua lautan bertemu, diduga
airnya akan saling bercampur dengan suhu dan konsentrasi garam cenderung
seimbang. Namun, kenyataan yang terjadi berbeda dengan yang diperkirakan.
Mi-salnya, meskipun Laut Tengah dan Samudra Atlantik, serta Laut Merah dan
Samudra Hindia secara fisik saling bertemu, airnya tidak saling bercampur. Ini
karena di antara keduanya terdapat batas. Batas ini adalah gaya yang disebut
“tegangan permukaan”.
Dua Kode dalam Besi
Besi adalah satu dari empat unsur
yang paling berlimpah di bumi. Selama berabad-abad besi merupakan salah satu
logam terpenting bagi umat manusia. Ayat yang berkenaan dengan besi adalah
sebagai berikut:
“…Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (QS. Al
Hadiid, 57: 25) !
Ayat ini melibatkan dua kode
matematika yang sangat menarik.
“Al Hadid” (besi) adalah surat ke-57
di dalam Al Quran. Nilai numerik (dalam sistem “Abjad” Arab, setiap huruf
memiliki nilai numerik) huruf-huruf dari kata “Al Hadid” jumlahnya sama dengan
57, yakni nomor massa besi.
Nilai numerik (Abjad) dari kata
“Hadid” (besi) sendiri, tanpa penambahan “al”, jumlahnya 26, yakni nomor atom
besi.
Picture Text
“Dia yang telah menciptakan tujuh
langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang
Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah
kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi,
niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu
cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS. Al Mulk, 67: 3-4) !
“Semua yang berada di langit
dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah).
Dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kepunyaan-Nyalah kerajaan
langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu.” (QS. Al Hadiid, 57: 1-2) !
“Dan langit itu Kami bangun dengan
kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS.
Adz-Dzariyaat, 51: 47) !
“Dia Pencipta langit dan bumi.
Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia
menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu. (Yang memiliki
sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain
Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara
segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.
Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka
barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri;
dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya
kembali kepadanya.” (QS. Al An'am, 6: 101-104) !
“…Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (QS. Al
Hadiid, 57: 25) !
BAB 4
KERUNTUHAN TEORI EVOLUSI
Teori evolusi adalah filsafat dan
konsepsi dunia yang menghasilkan hipotesis-hipotesis palsu, asumsi dan skenario
khayalan untuk menjelaskan keberadaan dan asal usul kehidupan secara kebetulan
semata. Akar dari filsafat ini berakar jauh semenjak zaman Yunani kuno.
Semua filsafat ateis yang mengingkari
penciptaan, langsung maupun tidak mengambil dan mempertahankan ide evolusi ini.
Kondisi serupa saat ini terjadi pada semua ideologi dan sistem yang
bertentangan dengan agama.
Gagasan evolusioner telah diselubungi
dengan penyamaran ilmiah selama satu setengah abad silam untuk membenarkan
dirinya sendiri. Walaupun diajukan sebagai teori ilmiah sepanjang pertengahan
abad ke-19, teori ini di luar semua usaha keras para pembelanya, sebegitu jauh
belum dibuktikan oleh penemuan atau eksperimen ilmiah apa pun. Jelasnya,
“satu-satunya bentuk ilmiah” yang menjadi sandaran utama teori ini telah
berulang kali dan terus-menerus menunjukkan bahwa teori ini tidak memiliki
dasar dalam kenyataan.
Eksperimen di laboratorium dan
perhitungan probabilitas mem-buktikan bahwa asam amino, cikal kehidupan tidak
dapat muncul secara kebetulan. Begitu pula sel, yang menurut anggapan
evolusionis muncul secara kebetulan pada kondisi bumi primitif dan tidak
terkendali, tidak dapat disintesis oleh laboratorium-laboratorium abad ke-20
yang ter-canggih sekalipun. Tidak pernah ditemukan di belahan dunia mana pun
satu saja makhluk “bentuk transisi” yang menunjukkan evolusi bertahap organisme
maju dari organisme yang lebih primitif sebagaimana yang dinyatakan para
neo-Darwinis, walau melalui pencarian catatan fosil secara teliti dan dalam
waktu yang panjang.
Dengan berusaha keras mengumpulkan
bukti-bukti evolusi, para evolusionis justru secara tidak sengaja telah
membuktikan sendiri bahwa evolusi tidak dapat terjadi sama sekali!
Orang yang pertama kali mengemukakan teori
evolusi sebagaimana yang dipertahankan dewasa ini, adalah seorang naturalis
amatir dari Inggris, Charles Robert Darwin. Darwin mempublikasikan
pandangan-nya ini dalam sebuah buku yang berjudul The Origin of Species, By
Means of Natural Selection pada tahun 1859. Darwin menyatakan dalam bukunya
bahwa semua makhluk hidup memiliki nenek moyang yang sama dan mereka berevolusi
satu sama lain melalui seleksi alam. Individu-individu yang beradaptasi pada
habitat mereka dengan cara terbaik, akan menu-runkan sifat-sifat mereka kepada
generasi berikutnya, dan dengan aku-mulasi selama jangka waktu yang panjang
sifat-sifat yang menguntung-kan ini lama-kelamaan terakumulasi dan mengubah suatu
individu menjadi spesies yang sama sekali berbeda dengan nenek moyangnya.
Manusia merupakan hasil paling maju dari mekanisme seleksi alam ini.
Singkatnya, suatu spesies berasal dari spesies lain.
Gagasan Darwin yang fantastis ini
diambil dan dipromosikan oleh kalangan ideologis dan politis tertentu dan teori
ini menjadi sangat populer. Ini terutama disebabkan oleh belum memadainya
tingkat pengetahuan zaman itu untuk mengungkapkan kekeliruan skenario imajiner
Darwin. Saat Darwin mengajukan asumsinya, disiplin ilmu genetika, mikrobio-logi
dan biokimia belum ada. Jika disiplin-disiplin ilmu ini telah ada, Darwin akan
dengan mudah mengetahui bahwa teorinya benar-benar tidak ilmiah dan karenanya
tidak akan mencoba untuk mengajukan klaim-klaim tanpa arti tersebut: informasi
yang menentukan spesies telah terdapat dalam gen dan tidak mungkin bagi seleksi
alam untuk menghasilkan spesies baru dengan mengubah gen-gen.
Di saat gema buku Darwin tengah
ber-kumandang, seorang ahli botani Austria bernama Gregor Mendel menemukan
hukum penurunan sifat pada tahun 1865. Meskipun tidak banyak dikenal orang
hingga akhir abad ke-19, penemuan Mendel mendapat perhatian besar di awal tahun
1900-an. Inilah awal kelahiran ilmu genetika. Beberapa waktu kemudian, struktur
gen dan kromosom ditemukan. Pada tahun 1950-an, penemuan struktur molekul DNA
yang berisi informasi genetis menghempaskan teori evolusi ke dalam krisis,
karean asal usul dari informasi dalam DNA yang berjumlah luar biasa tidak
mungkin dijelaskan dengan peristiwa kebetulan.
Di samping semua perkembangan ilmiah
ini, tidak ada bentuk transisi untuk menunjukkan evolusi bertahap dari
organisme hidup dasri spesies primitif ke spesies maju pernah ditemukan
meskipun setelah pencarian bertahun-tahun.
Perkembangan ini seharusnya membuat
teori Darwin terbuang dalam keranjang sampah sejarah. Namun ini tidak terjadi,
karena ada kelompok-kelompok tertentu yang bersikeras merevisi, memperbarui dan
mengangkat kembali teori ini pada kedudukan ilmiah. Kita dapat memahami maksud
upaya-upaya tersebut hanya jika menyadari bahwa di belakang teori ini terdapat
tujuan ideologis, bukan sekadar kepen-tingan ilmiah.
Bagaimanapun, beberapa kalangan yang
mempercayai perlunya mempertahankan teori yang telah menemui jalan buntu ini
segera me-rancang sebuah model baru. Nama model baru ini adalah
neo-Darwin-isme. Menurut teori ini, spesies berevolusi sebagai hasil dari
mutasi perubahan kecil pada gen, dan individu terkuat bertahan hidup melalui
mekanisme seleksi alam. Bagaimanapun, ketika terbukti bahwa meka-nisme yang
dikemukakan neo-Darwinisme tidak absah dan perubahan-perubahan kecil tidak
memadai untuk pembentukan makhluk hidup, evolusionis terus mencari model-model
baru. Mereka mengajukan klaim baru yang disebut “punctuated equilibrium” yang
tidak memiliki landasan rasional maupun ilmiah apa pun. Model ini mengajukan
bahwa makhluk hidup tiba-tiba berevolusi menjadi spesies lain tanpa bentuk
transisi apa-apa. Dengan kata lain, spesies tanpa “nenek moyang” evolusioner
tiba-tiba muncul. Ini merupakan sebuah cara untuk menggambarkan pencip-taan,
walaupun evolusionis akan segan mengakui ini. Mereka mencoba utnuk menutupinya
dengan skenario yang tidak dapat dipahami. Misal-nya, mereka berkata bahwa
burung pertama muncul dari sebutir telur reptil. Teori yang sama juga
mengajukan bahwa binatang penghuni darat pemakan daging dapat berubah menjadi
paus raksasa, karena mengalami transformasi yang menyeluruh dan seketika.
Pernyataan-pernyataan ini, yang sama
sekali bertentangan dengan semua hukum-hukum genetika, biofisika dan biokimia
ini, sama ilmiah-nya dengan dongeng katak yang menjadi pangeran! Dalam
ketidak-berdayaan karena pandangan neo-Darwinis terpuruk dalam krisis, sejumlah
ahli paleontologi pro-evolusi mempercayai teori ini, teori baru yang bahkan
lebih ganjil daripada neo-Darwinisme itu sendiri.
Satu-satunya tujuan model ini adalah
memberikan penjelasan untuk mengisi celah dalam catatan fosil yang tidak dapat
dijelaskan model neo-Darwinis. Namun, usaha menjelaskan kekosongan fosil dalam
evolusi burung dengan pernyataan bahwa “seekor burung muncul tiba-tiba dari
sebutir telur reptil” sama sekali tidak rasional. Sebagaimana diakui oleh
evolusionis sendiri, evolusi dari satu spesies ke spesies lain membutuh-kan
perubahan besar informasi genetis yang menguntungkan. Akan teta-pi, tidak ada
mutasi yang memperbaiki informasi genetis atau menam-bahkan informasi baru
padanya. Mutasi hanya merusak informasi gene-tis. Dengan demikian, “mutasi
besar-besaran” yang digambarkan oleh model punctuated equilibrium hanya akan menyebabkan
pengurangan atau perusakan “besar-besaran” pada informasi genetis.
Teori punctuated equilibrium
jelas-jelas merupakan hasil imajinasi belaka. Namun walau adanya kebenaran yang
nyata ini, pembela evolusi tidak ragu-ragu untuk menjunjung teori ini. Fakta
bahwa model evolusi yanga diajukan Darwin tidak dapat dibuktikan dengan catatan
fosil memaksa mereka untuk melakukannya. Darwin menyatakan bahwa spesies
mengalami perubahan bertahap, yang membutuhkan keberadaan makhluk aneh
setengah-burung/setengah-reptil atau setengah-ikan/ setengah-reptil.
Bagaimanapun, tak satu pun dari “bentuk transisi” ini ditemukan walau dikaji
secara meluas oleh para evolusionis dan ratusan ribu fosit telah digali.
Evolusionis menggunakan model
punctuated equilibrium dengan harapan untuk menyembunyikan kegagalan besar dari
fosil ini. Sebagai-mana telah dinyatakan sebelumnya, sangat jelas bahwa teori
ini adalah khayalan, maka ia segera menelan dirinya sendiri. Model punctuated
equilibrium tidak pernah diajukan sebagai sebuah model yang konsisten tetapi
lebih digunakan sebagai pelarian dari masalah tidak sesuainya model evolusi
bertahap. Karena evolusionis dewasa ini menyadari bahwa organ-organ kompleks
seperti mata, sayap, paru-paru, otak dan lain-lain secara eksplisit membantah
model evolusi betahap, dalam masalah khusus ini mereka terpaksa berlindung di
balik interpretasi fantastis dari model punctuated equilibrium.
Adakah Catatan Fosil yang Membuktikan Teori Evolusi?
Menurut teori evolusi, evolusi dari
satu spesies ke spesies lain berlangsung secara bertahap, sedikit demi sedikit
dlam jangka waktu jutaan tahun. Kesimpulan logis dari klaim ini adalah bahwa
seharusnya pernah terdapat sangat banyak organisme hidup yang disebut “bentuk
transisi” selama periode perubahan yang panjang ini. Karena evolusionis
berpendapat bahwa semua makhluk hidup berevolusi dari makhluk hidup lain
melalui perubahan bertahap, maka seharusnya mereka muncul dalam jumlah dan
variasi sampai jutaan.
Jika binatang-binatang seperti ini
memang pernah ada, maka kita seharusnya menemukan sisa-sisa mereka di
mana-mana. Malah, jika tesis ini benar, jumlah bentuk-bentuk transisi antara
ini pun semestinya jauh lebih besar daripada spesies binatang masa kini dan
sisa-sisa mereka seharusnya ditemukan di seluruh penjuru dunia.
Semenjak Darwin, evolusionis telah
mencari fosil-fosil dan hasil-hasilnya bagi mereka lebih merupakan kekecewaan
yang mendalam. Tidak pernah ditemukan di manapun di dunia baik di daratan
maupun di kedalaman laut bentuk transisi antara apa pun dari dua spesies.
Darwin sendiri sadar akan ketiadaan
bentuk-bentuk peralihan ter-sebut. Ia berharap bentuk-bentuk peralihan itu akan
ditemukan di masa mendatang. Namun di balik harapan besarnya ini, ia sadar
bahwa rin-tangan utama teorinya adalah ketiadaan bentuk-bentuk peralihan.
Kare-na itulah dalam buku The Origin of Species, pada bab “Difficulties of the
Theory” ia menulis:
… Jika suatu spesies memang berasal
dari spesies lain melalui perubahan sedikit demi sedikit, mengapa kita tidak
melihat sejumlah besar bentuk transisi di mana pun? Mengapa alam tidak berada
dalam keadaan kacau-balau, tetapi justru seperti kita lihat, spesies-spesies
hidup dengan bentuk sebaik-baiknya?.... Menurut teori ini harus ada
bentuk-bentuk peralihan dalam jumlah besar, tetapi mengapa kita tidak menemukan
mereka terkubur di kerak bumi dalam jumlah tidak terhitung?.... Dan pada daerah
peralihan, yang memiliki kondisi hidup peralihan, mengapa sekarang tidak kita
temu-kan jenis-jenis peralihan dengan kekerabatan yang erat? Telah lama
kesulit-an ini sangat membingungkan saya. 1
Darwin memang layak untuk khawatir.
Masalah ini pun menggang-gu evolusionis lain. Seorang ahli paleontologi Inggris
ternama, Derek V. Ager, mengakui fakta ini meskipun dirinya seorang
evolusionis:
Jika kita mengamati catatan fosil
secara terperinci, baik pada tingkat ordo maupun spesies, maka yang selalu kita
temukan bukanlah evolusi bertahap, namun ledakan tiba-tiba satu kelompok
makhluk hidup yang disertai kepunahan kelompok lain. 2
Kekosongan dalam catatan fosil tidak
dapat dijelaskan dengan la-munan bahwa belum cukup banyak fosil yang digali dan
bahwa fosil yang hilang ini akan ditemukan suatu hari. Seorang evolusionis ahli
pale-ontologi, T. Neville George mejelaskan alasannya:
Tidak ada gunanya lagi menjadikan
keterbatasan catatan fosil seba-gai alasan. Entah bagaimana, catatan fosil
menjadi berlimpah dan hampir tidak dapat dikelola, dan penemuan bermunculan
lebih cepat dari pengin-tegrasian... Bagaimanapun, akan selalu ada kekosongan
pada catatan fosil. 3
Kehidupan Muncul di Muka Bumi dengan
Tiba-Tiba dan dalam Bentuk Kompleks
Ketika lapisan bumi dan catatan fosil
dipelajari, terlihat bahwa semua makhluk hidup muncul bersamaan. Lapisan bumi
tertua tempat fosil-fosil makhluk hidup ditemukan adalah Kambrium, yang
diperkirakan berusia 530-520 juta tahun.
Makhluk hidup yang ditemukan pada
lapisan bumi periode Kam-brium muncul pada catatan fosil dengan tiba-tiba,
tanpa nenek moyang yang hidup sebelumnya. Beragam makhluk hidup yang kompleks
muncul begitu tiba-tiba, sehingga literatur geologi menyebut kejadian ajaib ini
sebagai “Ledakan Kambrium” (Cambrian Explosion).
Sebagian besar bentuk kehidupan yang
ditemukan dalam lapisan ini memiliki sistem kompleks seperti mata, atau
sistem-sistem dalam organ-isme dengan organisasi yang sangat maju seperti
insang, sistem pere-daran darah, dan seterusnya. Tidak ada tanda-tanda dalam
catatan fosil yang menunjukkan bahwa organisme-orgnisme ini memiliki nenek
moyang apa pun. Richard Monastersky, editor Earth Sciences, salah satu terbitan
populer dalam literatur evolusionis, memberikan pernyataan mengenai kemunculan
tiba-tiba dari spesies hidup:
Setengah milyar tahun lalu,
binatang-binatang dengan bentuk-bentuk sa-ngat kompleks seperti yang kita lihat
pada masa kini muncul secara tiba-tiba. Momen ini, tepat di awal Periode
Kambrium Bumi sekitar 550 juta tahun lalu, menandai ledakan evolusioner yang
mengisi lautan dengan makhluk-makhluk hidup kompleks pertama di dunia. Filum
binatang besar masa kini ternyata telah ada di awal masa Kambrium.
Binatang-binatang pertama itu pun berbeda satu sama lain sebagaimana
binatang-binatang saat ini. 4
Karena tidak mampu menemukan jawaban
atas pertanyaan bagai-mana bumi menjadi dipenuhi oleh ribuan spesies binatang
yang berbeda, para evolusionis menambahkan periode 20 juta tahun imajiner
sebelum Periode Kambrium untuk menjelaskan bagaimana kehidupan bermula dan
“sesuatu yang tidak diketahui terjadi”. Periode ini disebut “jurang
evolusioner”. Belum pernah ditemukan bukti tentang hal ini dan konsep tersebut
masih tetap samar-samar dan tak terdefinisikan hingga kini.
Pada tahun 1984, sejumlah besar
invertebrata yang kompleks digali di Chengjiang, tepatnya di dataran tinggi
Yunan tengah di wilayah pegu-nungan Cina barat data. Di antaranya adalah
trilobita, yang sekarang sudah punah, tetapi tak kurang kompleksnya dari
struktur invertebrata modern mana pun.
Ahli paleontologi evolusionis dari
Swedia, Stefan Bengston, menerangkan situasi ini sebagai berikut:
Jika ada peristiwa apa pun dalam
sejarah kehidupan yang menyamai mitos penciptaan manusia, tentunya
diversifikasi tiba-tiba dari kehidupan laut ketika organisme bersel banyak
mengambil alih pe-ran utama dalam ekologi dan evolusi. Peristiwa yang
membingungkan (dan memalukan) bagi Darwin ini masih memesona kami. 5
Kemunculan tiba-tiba dari
makhluk-makhluk hidup yang kompleks yang tanpa pendahulu ini juga tidak kurang
membingungkan (dan memalukan) bagi para evolusionis masa kini dibandingkan bagi
Darwin 135 tahun yang lalu. Hampir satu setengah abad, mereka belum maju satu
langkah pun dari titik yang telah menghadang Darwin.
Sebagaimana dapat dilihat, catatan
fosil menunjukkan bahwa makh-luk hidup tidak berevolusi dari bentuk primitif ke
bentuk yang lebih maju, namun justru muncul secara tiba-tiba dan dalam bentuk
yang sempurna. Ketiadaan bentuk-bentuk transisi tidak hanya pada periode
Kambrium. Tidak satu pun bentuk transisi yang diduga evolusionis sebagai
“kemajuan” evolusioner dari vertebrata dari ikan ke amfibi, reptil, burung dan
mamalia yang pernah ditemukan. Setiap spesies hidup muncul secara seketika dan
daslam bentuknya yang sekarang, sempurna dan lengkap, pada catatan fosil.
Ringkasnya, makhluk hidup tidak
muncul melalui evolusi, tetapi diciptakan.
PEMALSUAN FOSIL
Penipuan pada Gambar
Catatan fosil merupakan sumber utama
bagi pencari bukti teori evolusi. Ketiak ditelaah secara teliti dan tanpa
praduga, catatan fosil lebih menyanggah teori evolusi daripada mendukungnya.
Namun begitu, interpetasi yang menyesatkan tentang fosil oleh para evolusionis
dan presentasi mereka yang penuh prasangka kepada publik telah memberi kesan
pada banyak orang bahwa catatan fosil mendukung teori evolusi.
Kerentanan beberapa temuan dalam
catatan fosil terhadap semua jenis interpretasi ternyata sangat baik melayani
keinginan para evolusionis. Fosil-fosil yang digali kebanyakannya tidak
memuaskan bagi identifikasi yang dapat diandalkan. Mereka kebanyakan merupakan
fragmen-fragmen tulang yang tidak lengkap dan terpencar-pencar. Kare-na ini,
sangat mudah mendistorsi data yang tersedia dan menggunakan-nya sebagaimana
diinginkan. Tidak mengejutkan, rekonstruksi (gambar dan model) yang dibuat oleh
evolusionis dengan berdassarkan pada sisa-sisa fosil semacam itu disiapkan
secara sepenuhnya spekulatif untuk men-dukung tesis evolusioner. Karena publik
telah dipengaruhi sebelumnya dengan informasi-informasi visual, model-model
konstruksi imajinier ini digunakan utnuk meyakinkan mereka bahwa
makhluk-makhluk yang direkonstruksi benar-benar ada di masa silam.
Periset-periset evolusionis
menggambarkan makhluk-makhluk ima-jiner yang menyerupai manusia, biasanya dari
hanya sepotong gigi, frag-men rahang, atau tulang lengan atas, dan menampilkan
mereka kepada publik secara sensasional seolah mereka terhubung dalam evolusi
manusia. Gambar-gambar ini telah memainkan peranan penting dalam pengukuhan
gambaran tentang “manusia primitif” dalam benak banyak orang.
Kajian-kajian yang didasarkan pada
sisa-sisa tulang ini hanya dapat menampilkan karakteristik sangat umum dari
0bjek tersebut. Detail yang khusus terdapat pada jaringan lunak yang dengan
cepat musnah bersama waktu. Dengan jaringan lunak yang diinterpretasikan secara
spekulatif, segala sesuatu menjadi mungkin dalam batasan imajinasi pembuat
rekon-struksi. Earnst A. Hooten dari Universitas Harvard menjelaskan
situasi-nya seperti ini:
Usaha untuk menyusun kembali
bagian-bagian lunak adalah pekerjaan yang lebih berisiko lagi. Bibir, mata,
telinga dan ujung hidung tidak meninggalkan tanda apa pun pada tulang di
bawahnya yang bisa menjadi petunjuk. Dengan kemudahan yang sama, dari sebuah
tengkorak Neandertaloid, Anda dapat merekonstruksi muka simpanse atau roman
aristokrat seorang filsuf. Nilai ilmiah restorasi hipotetis tipe-tipe manusia
purba ini sedikit sekali, itu pun kalau ada, dan ini cenderung hanya
menyesatkan masyarakat.... Jadi, janganlah Anda mempercayai rekonstruksi.6
Kajian-Kajian yang Dilakukan untuk
Menghasilkan Fosil-Fosil Palsu
Karena tidak mampu menemukan bukti
yang sahih bagi teori evolusi dalam catatan fosil, beberapa evolusionis telah
berspekulasi untuk mem-buatnya sendiri. Upaya-upaya ini , yang telah dimasukkan
ke dalam ensi-klopedia di bawah judul “penipuan evolusi”, merupakan indikasi
yang paling berbicara bahwa teori evolusi merupakan ideologi dan falsafah yang
diperjuangkan sekuat-kuatnya oleh evolusionis. Selanjutnya, inilah dua dari
berbagai penipuan tersebut, yang paling menghebohkan.
Manusia Piltdown
Charles Dawson, seorang dokter
terkenal yang juga ahli paleoantro-pologi amatir, menyatakan bahwa ia telah
menemukan tulang rahang dan fragmen tengkorak di dalam sebuah lubang di
Piltdown, Inggris, pada tahun 1912. Tulang rahang tersebut lebih mirip tulang
rahang kera, tetapi gigi dan tengkoraknya seperti milik manusia. Spesi-men ini
dibabtis sebagai “Manusia Piltdown”. Fosil ini diduga berusia 500 ribu tahun,
dan dipajang di beberapa museum sebagai bukti mutlak evolusi manusia. Selama
lebih dari 40 tahun, telah banyak artikel ilmiah mengenai “Manusia Piltdown”
ditulis, sejumlah penafsiran dan gambar dibuat, dan fosil tersebut dikemukakan
sebagai bukti penting evolusi manusia.
Pada tahun 1949, para ilmuwan
melakukan pengujian atas fosil ini sekali lagi dan menyimpulkan bahwa “fosil”
tersebut merupakan penipuan yang disengaja yang terdiri dari tengkorak manusia
dan rahang orang utan.
Dengan menggunakan metoda fluorin,
para peneliti menemukan bahwa tengkorak tersebut hanya berusia beberapa ribu
tahun. Gigi pada tulang rahang, yang berasal dari orang utan telah dibuat
seolah usang, dan peralatan-peralatan “primitif” yang ditemukan bersama fosil
hanya imitasi sederhana yang telah diasah dengan peralatan baja. Dalam analisis
teperinci yang diselesaikan oleh Oaklely, Weiner dan Clark, mereka
mengungkapkan pemalsuan ini kepada publik pada tahun 1953. Tengkorak tersebut
milik manusia yang berusia 500 tahun, dan tulang rahangnya milik kera yang baru
saja mati! Kemudian gigi-gigi disusun berderet dan ditambahkan pada rahangnya
secara khusus, dan sendinya dirancang menyerupai sendi manusia. Lalu semua
bagian diwarnai de-ngan potasium dikromat agar tampak tua. (Warna ini memudar
ketika dicelup dalam larutan asam). Le Gros Clark, anggota tim yang mem-bongkar
penipuan ini, tidak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya:
Bukti-bukti abrasi tiruan dengan
segera tampak di depan mata. Hal ini begitu jelasnya hingga patut dipertanyakan
bagaimana ini sampai lolos dari pengamatan sebelumnya?7
Manusia Nebraska
Pada tahun 1922, Henry Fairfield
Osborn, direktur Museum Sejarah Alam Amerika, mengumumkan bahwa ia telah
menemukan sebuah fosil gigi geraham yang berasal dari periode Pliosin, di
Nebraska Barat, dekat Snake Brook. Gigi ini dinyatakan memiliki karakteristik
gigi manusia dan gigi kera. Argumentasi ilmiah yang mendalam pun dimulai.
Sebagian orang menafsirkan gigi ini berasal dari Pithecanthropus Erectus,
sedang-kan yang lain menyatakan gigi tersebut lebih menyerupai gigi manusia.
Fosil yang menimbulkan perdebatan sengit ini dinamakan “Manusia Nebraska”.
Manusia baru ini juga dengan segera diberi “nama ilmiah”: Hesperopithecus
Haroldcooki.
Banyak ahli yang memberikan dukungan
kepada Osborn. Berdasar-kan satu gigi ini, rekonstruksi kepala dan tubuh
Manusia Nebraska pun digambar. Lebih jauh, Manusia Nebraska bahkan dilukiskan
bersama keluarganya.
Pada tahun 1927, bagian lain kerangkanya
juga ditemukan. Menurut potongan-potongan tulang ini, gigi tersebut bukan milik
manusia atau kera, melainkan milik spesies babi liar Amerika yang telah punah,
bernama prosthennops.
Apakah Manusia dan Kera Berasal dari
Nenek Moyang yang Sama?
Darwinis menyatakan bahwa manusia
modern saat ini berevolusi dari makhluk serupa kera. Menurut mereka, selama
proses evolusi yang diperkirakan berawal 4-5 juta tahun lalu, terdapat beberapa
“bentuk transisi” antara manusia modern dan nenek moyangnya. Menurut ske-nario
yang sepenuhnya rekaan ini, terdapat empat “kategori” dasar:
Evolusionis menyebut nenek moyang
pertama manusia dan kera sebagai “Australopithecus”, yang berarti “Kera Afrika
Selatan”. Austra-lopithecus hanyalah spesies kera kuno yang telah punah, dan
memiliki beragam tipe. Sebagian berperawakan tegap, dan sebagian lain bertubuh
kecil dan ramping.
Evolusionis menggolongkan tahapan
evolusi manusia berikutnya sebagai “homo”, yang berarti “manusia”. Menurut
pernyataan evolu-sionis, makhluk hidup dalam kelompok Homo lebih berkembang
dari-pada Australopithecus, dan tidak terlalu berbeda dengan manusia mo-dern.
Manusia modern di zaman kita, Homo sapiens, dikatakan terbentuk pada tahapan
terakhir evolusi spesies ini.
Masalahnya, apa yang disebut sebagai
Australopithecus dalam ske-nario khayalan yang dibuat oleh evolusionis
sebenarnya adalah kera yang telah punah, dan apa yang digolongkan kepada seri
Homo tersebut merupakan anggota dari beragam ras manusia yang hidup di masa
lam-pau dan telah menghilang. Evolusionis menyusun beragam kera dan fo-sil
manusia dalam urutan dari yang terkecil kepada yang terbesar untuk membentuk
skema “evolusi manusia”. Riset, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa
fosil-fosil ini sama sekali tidak mengarah kepada proses evolusioner dan
beberapa dari yang dianggap sebagai nenek moyang manusia ini benar-benar kera
dan sebagian lagi benar-benar manusia.
Sekarang, mari kita memperhatikan
Australopithecus, yang bagi pa-ra evolusionis merupakan tingkat pertama dari
skema evolusi manusia.
Australopithecus: Spesies Kera yang Telah Punah
para evolusionis menyatakan bahwa
Australopithecus merupakan nenek moyang paling primitif dari manusia modern.
Mereka merupakan spesies tua dengan struktur kepala dan tengkorak serupa dengan
kera modern, walau kapasitas tempurung kepalanya lebih kecil. Menurut
pernyataan evolusionis, makhluk-makhluk ini memiliki sifat sangat penting yang
membuktikan bahwa mereka adalah nenek moyang manusia: bipedalisme.
Gerakan kera dan manusia sangat
berbeda. Manusia adalah satu-sa-tunya makhluk hidup yang bergerak dengan bebas
menggunakan kedua kakinya. Beberapa hewan juga memiliki kemampuan terbatas
untuk ber-gerak seperti ini, tetapi mereka yang memiliki kerangka yang bungkuk.
Menurut evolusionis, makhluk-makhluk
hidup yang disebut Austra-lopithecus ini memiliki kemampuan untuk berjalan
membungkuk, tidak dengan postur tegak seperti manusia. Walau begitu, cara
berjalan bipedal yang terbatas ini sudah cukup untuk membuat evolusionis untuk
mem-proyeksikan bahwa makhluk ini merupakan nenek moyang manusia.
Bagaimanapun, bukti pertama yang
menyanggah pernyataan tanpa bukti para evolusionis bahwa Australopithecus
merupakan bipedal datang dari evolusionis sendiri. Kajian-kajian mendetail pada
fosil-fosil Australopithecus memaksa evolusionis untuk mengakui bahwa mereka
tampak “terlalu” mirip kera. Setelah melakukan riset anatomis terinci pada
fosil-fosil Australopithecus pada pertengahan tahun 1970-an, Charles E. Oxnard
mempersamakan struktur kerangka Australopithecus dengan milik orang utan
modern.
“Sebuah bagian penting dari
kebijaksanaan konvensional dewasa ini tentang evolusi manusia didasarkan pada
kajian atas gigi, rahang dan fragmen-fragmen tengkorak fosil-fosil
Australopithecus. Ini semua menunjukkan bahwa hubungan terdekat antara
asutralopithecus dengan silsilah manusia mungkin tidak benar. Semua fosil ini
berbeda dari gorila, simpanse dan manusia. Jika dikaji sebagai sebuah grup,
Australopithecus lebih mirip dengan orang utan.” 8
Yang benar-benar memalukan
evolusionis adalah temuan bahwa Australopithecus tidak mungkin berjalan dengan
dua kaki dan dengan postur bungkuk. Hal ini secara fisik akan sangat tidak
efisien bagi Aus-tralopithecus, yang dinyatakan sebagai bipedal tapi dengan
cara berjalan membungkuk, untuk berjalan seperti itu karena akan membutuhkan
energi yang sangat besar. Melalui simulasi komputer pada tahun 1996, ahli
Paleoantropologi Inggris Robin Crompton juga menunjukkan bahwa cara berjalan
“gabungan” seperti itu tidak mungkin. Crompton mencapai kesimpulan berikut:
makhluk hidup dapat berjalan dengan salah satu dari dua cara: tegak atau dengan
empat kaki. Bentuk cara berjalan di antara keduanya tidak dapat dilakukan untuk
periode yang yanjang karena membutuhkan energi yang sangat besar. Ini berarti
bahwa Australopithecus tidak mungkin sekaligus bipedal dan memiliki posisi
berjalan membungkuk.
Barangkali kajian terpenting yang
menunjukkan bahwa Australo-pithecus tidak mungkin bipedal adalah di tahun 1994
dari riset ahli ana-tomi Fred Spoor dan timnya di Departemen Anatomi Manusia
dan Biolo-gi Seluler di Universitas Liverpool, Inggris. Grup ini melakukan
kajian atas bipedalisme pada makhluk-makhluk hidup yang memfosil. Riset mereka
menyelidiki mekanisme keseimbangan secara tak sengaja yang ditemukan dalam
rumah siput pada telinga, dan temuan menunjukkan secara meyakinkan bahwa
Australopithecus tidak mungkin bipedal. Ini membantah klaim bahwa
Australopithecus menyerupai manusia.
Seri Homo : Benar-Benar Manusia
Langkah selanjutnya dalam evolusi
manusia rekaan adalah “Homo”, yaitu seri manusia. Makhluk-makhluk hidup ini
adalah manusia yang tidak bebeda dari manusia modern, tetapi memiliki beberapa
perbedaan rasial. Karena berusaha untuk membesar-besarkan perbedaan-perbedaan
ini, evolusionis menampilkan orang-orang ini tidak sebagai suatu “ras” manusia
modern, tetapi sebagai suatu “spesies” yang berbeda. Bagaima-napun, sebagaimana
kita akan segera lihat, orang-orang pada seri Homo tidak lebih dari tipe ras
manusia biasa.
Menurut skema rekaan evolusionis,
evolusi internal spesies Homo adalah sebagai berikut: pertama Homo erectus,
kemudian Homo sapiens purba dan Manusia Neandertal, lalu Manusia Cro-Magnon dan
terakhir manusia modern.
Walau klaim evolusionis bertolak
belakang, semua “spesies” yang telah kita sebutkan di atas tidak lain dari
manusia murni. mari kita pertama menguji Homo Erectus, yang dirujuk evolusionis
sebagai spesies manusia yang paling primitif.
Bukti paling mengejutkan yang
menunjukkan bahwa Homo erectus bukanlah spesies “primitif” adalah fosil “Anak
Lelaki Turkana”, salah satu sisa Homo erectus tertua. Fosil tersebut
diperkirakan milik seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, yang mungkin akan
mencapai tinggi dewasa 1,83 meter. Struktur kerangka yang tegak dari fosil
tidak berbeda dengan manusia modern. Struktur kerangkanya yang tinggi dan
langsing sepenuhnya menyerupai milik orang-orang yang tinggal di wilayah
tro-pis pada zaman kita. Fosil ini merupakan salah satu dari bukti paling
penting bahwa Homo Erectus tidak lebih dari spesimen lain dari ras ma-nusia
modern. Ahli paleontologi evolusionis Richard Leakey memban-dingkan antara Homo
erectus dan manusia sebagai berikut:
Perbedaan bentuk tengkorak, tingkat
tonjolan wajah, kekokohan dahi dan sebagainya akan terlihat.
Perbedaan-perbedaan ini mungkin seperti yang kita saksikan saat ini pada
ras-ras manusia modern yang terpisah secara geografis. Variasi biologis semacam
ini muncul ketika populasi-populasi saling terpisah secara geografis untuk
kurun waktu yang lama.9
Hal yang ingin disampaikan oleh
Leakey adalah bahwa perbedaan antara Homo erectus dan kita tidak lebih dari
perbedaan antara Negro dan Eskimo. Bentuk tempurung kepala Homo erectus berasal
dari cara makan mereka, dan emigrasi genetis dan dari tidak berasimilasinya
me-reka dengan ras-ras manusia lainnya selama periode yang panjang.
Bukti kuat lainnya bahwa Homo erectus
bukan spesies “primitif” adalah bahwa fosil dari spesies ini yang digali
berumur 27.000 tahun dan malahan 13.000 tahun. Menurut artikel yang dimuat
dalam Time - yang bukanlah terbitan periodis ilmiah, namun bagaimanapun
memiliki efek mempengaruhi duania ilmu pengetahuan - fosil Homo erectus berusia
27.000 tahun ditemukan di pulau Jawa. Di rawa Kow di Australia, bebera-pa fosil
berusia 13.000 tahun ditemukan dengan membawa karakteristik Homo Sapiens-Homo
erectus. Semua fosil ini menunjukkan bahwa Homo erectus terus hidup hingga ke
masa yang sangat dekat dengan zaman kita dan mereka tak lebih dari ras manusia
yang sejak itu telah terkubur dalam sejarah.
Homo Sapienns Purba dan Manusia Neandertal
Homo sapiens purba adalah pelopor
dari manusia kontemporer da-lam skema evolusioner rekaan. Nyatanya, evolusionis
tidak berbicara banyak tentang manusia-manusia ini, seakan hanya terdapat
perbedaan-perbedaan minor di antara mereka dan manusia modern. Beberapa
peri-set malah menyatakan bahwa perwakilan dari ras ini masih hidup hari ini,
dan menunjuk suku Aborigin di Australia sebagai contoh. Seperti Homo sapiens,
Aborigin juga memiliki alis mata yanag tebal dan menonjol, struktur mandibular
yang cenderung ke dalam, dan volume tempurung kepala yang sedikit lebih kecil.
Lebih jauh lagi, penemuan-penemuan yang berarti telah didapat, mengisyaratkan
bahwa manusia semacam itu pernah hidup di Hungaria dan beberapa desa di Italia
sampai beberapa waktu yang lalu.
Evolusionis menunjuk fosil manusia
yang digali di lembah Neander di Belanda yang telah dinamai Manusia Neandertal
sebagai suatu sub spesies dari manusia modern dan menamakannya “Homo sapiens
nean-dertalensis”. Jelas bahwa ras ini hidup bersama dengan manusia modern,
pada waktu dan area yang sama. Temuan-temuan membuktikan bahwa Neandertal
mengubur mayat kerabat mereka, membuat alat musik dan memiliki hubungan
kebudayaan dengan Homo sapiens sapiens yang hi-dup seperiode. Struktur
tengkorak dan kerangka yang sepenuhnya mo-dern dari fosil-fosil Neandertal
tidak terbuka atas spekulasi apa pun. Seorang pakar dalam subjek ini, Erik
Trinkaus dari Universitas New Mexico menulis:
Perbandingan anatomis terperinci
antara sisa-sisa kerangka Neandertal dengan kerangka manusia modern tidak
menunjukkan dengan pasti bahwa kemampuan lokomotif, manipulatif, intelektual
atau bahasa Neandertal lebih rendah dari manusia modern.10
Nyatanya, Neandertal malah memiliki
beberapa kelebihan “evolusi-oner” dibanding manusia modern. Kapasitas tempurung
kepala Nender-tal lebih besar dari manusia modern dan mereka lebih kekar dan
berotot dibandingkan kita. Trinkaus menambahkan: “Salah satu keistimewaan
Neandertal yang paling karakteristik adalah kemasifan yang luar biasa dari
tulang-tulang batang tubuh dan anggota badannya. Semua tulang yang terawetkan
menunjukkan kekuatan yang jarang dimiliki manusia modern. Lebih jauh lagi,
tidak hanya kekekaran ini tampak pada lelaki dewasa, seperti yang diperkirakan
orang, tetapi juga muncul pada wanita dewasa, remaja bahkan anak-anak.”
Persisnya, Neandertal merupakan suatu
ras manusia khusus yang terasimilasi dengan ras-ras lain dengan perjalanan
waktu.
Dapatkah Kehidupan Muncul dari
Kebetulan Sebagaimana Dinyatakan
Evolusi?
Teori evolusi menyatakan bahwa
kehidupan berawal dari sebuah sel yang terbentuk secara kebetulan di bawah
kondisi-kondisi bumi primitif. Karenanya, mari kita menguji komposisi sel
dengan perbandingan seder-hana untuk menunjukkan betapa irasionalnya untuk
menganggap keber-adaan sel struktur yang masih merupakan misteri dalam banyak
hal, bah-kan pada waktu kita hendak menginjak abad ke 21 berasal dari fenomena
alam dan kebetulan.
Dengan semua sistem operasionalnya,
sistem komunikasi, trans-portasi dan manajemen, sebuah sel tidak kurang
rumitnya dari sebuah kota. Sel memiliki stasiun pembangkit yang menghasilkan
energi untuk dikonsumsi sel, pabrik-pabrik pembuat enzim dan hormon-hormon yang
penting bagi kehidupan, bank data yang mencatat semua informasi penting tentang
seluruh produk yang harus dihasilkan, sistem trans-portasi yang kompleks dan
pipa-pipa penyalur bahan mentah dan bahan jadi dari satu tempat ke tempat lain,
laboratorium dan tempat penyu-lingan canggih untuk menghancurkan bahan mentah
dari luar menjadi bahan-bahan berguna, dan protein membran sel khusus untuk
mengon-trol keluar-masuknya materi. Dan semua ini hanya sebagian kecil dari
sistem yang sangat kompleks tersebut.
Jauh dari kemungkinan terbetuk di
bawah kondisi-kondisi bumi primitif, sel, yang komposisi dan mekanismenya
begitu kompleks, tidak dapat dibuat walaupun di dalam laboratorium tercanggih
di masa kini. Bahkan dengan menggunakan asam-asam amino, bahan pembangun sel,
tidak mungkin untuk menghasilkan walau hanya sebuah organel tunggal sebuah sel,
seperti mitokondria atau ribosom, apalagi keseluruhan sel. Sel pertama yang
diklaim telah diproduksi oleh kebetulan evolusioner tak lebih dari isapan
jempol dan hasil dari dongengan sebagaimana kuda unicorn.
Protein Menggugat Teori Kebetulan
Bukan hanya sel yang tak dapat
diproduksi: satu saja protein dari ribuan molekul protein kompleks pembangun
sel, tidak mungkin terbentuk dalam kondisi alamiah.
Protein adalah molekul raksasa yang
terdiri dari satuan-satuan kecil yang disebut “asam amino” yang tersusun dalam
urutan tertentu, dengan jumlah dan struktur tertentu. Molekul-molekul ini
merupakan bahan pembangun sel hidup. Protein yang paling sederhana terdiri dari
50 asam amino, tetapi ada beberapa protein yang terdiri dari ribuan asam amino.
Ketidakhadiran, penambahan atau penggantian satu saja asam amino pada sebuah
struktur protein dapat menyebabkan protein tersebut menja-di gumpalan molekul
tak berguna. Karena tidak mampu menjelaskan “pembentukan secara kebetulan” dari
asam amino, teori evolusi terpero-sok pada titik pembentukan protein.
Fakta bahwa struktur fungsi-onal
sebuah protein tidak dapat muncul secara kebetulan akan mu-dah diamati dengan
perhitungan probabilitas sederhana yang dapat dipahami semua orang.
Terdapat 20 asam amino yang berbeda.
Jika kita anggap bahwa sebuah molekul protein berukuran rata-rata dibangun oleh
288 asam amino, akan terdapat 10300 kombinasi asam. Dari seluruh kemungkinan,
hanya satu urutan yang membentuk molekul protein yang diinginkan. Sisanya
adalah rantai asam amino yang sama sekali tidak berguna atau berpotensi
membahayakan makhluk hidup. Dengan kata lain, probabilitas pembentukan satu
molekul protein adalah “1 banding 10300”. Probabilitas dari “1” berbanding
dengan angka “astronomis” yang terdiri dari angka 1 diikuti 300 nol untuk semua
tujuan praktis adalah nol. Ini adalah hal yang mustahil. Selain itu, molekul
protein dengan 288 asam amino lebih sederhana dibandingkan molekul-molekul
protein raksasa yang terdiri dari ribuan asam amino. Bila kita melakukan
perhitungan probabilitas serupa pada molekul-molekul protein raksasa tersebut,
kita akan membutuhkan ungkapan yang lebih dari sekadar "mustahil".
Jika pembentukan secara kebetulan
dari salah satu protein ini saja tidak mungkin, milyaran kali lebih tidak
mungkin untuk sekitar satu juta protein-protein itu muncul secara kebetualn
dalam bentuk yang teror-ganisir dan membuat sebuah sel manusia yang komplit.
Lebih jauh lagi, sebuah sel bukan hanya sekumpulan protein. Di samping ptotein,
sel juga mengandung asam nukleat, karbohidrat, lemak, vitamin, dan banyak lagi
bahan kimia seperti elektrolit, yang semuanya tersusun secara harmonis dan
dalam rancangan dengan proporsi yang tertentu, baik dalam struktur, maupun
fungsi. Masing-masing berfungsi sebagai bahan atau komponen pembangun dalam beragam
organel.
Sebagaimana telah kita lihat, evolusi
tidak mampu menjelaskan pem-bentukan bahkan satu saja dari milyaran protein
dalam sel, jangankan menjelaskan sel itu sendiri.
Prof. Dr. Ali Demirsoy, salah satu
pakar terkemuka tentang pemi-kiran evolusionis di Turki, dalam bukunya Kalitim
ve Evrim (Pewarisan Sifat dan Evolusi), membicarakan kemungkinan pembentukan
secara kebetulan Sitokrom-C. salah satu enzim penting bagi kehidupan:
Probabilitas pembentukan rangkaian
sitokrom-C mendekati nol. Jadi, jika kehidupan memerlukan sebuah rangkaian
tertentu, maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki probabilitas untuk terwujud
hanya satu kali di seluruh alam semesta. Jika tidak, kekuatan-kekuatan
metafisis di luar definisi kita mestilah telah berperan dalam pembentukan
tersebut. Menerima pernyataan terakhir ini tidak sesuai dengan tujuan-tujuan
ilmu pengetahuan, karenanya kita harus mengkaji hipotesis pertama. 11
Setelah baris di atas, Demirsoy
mengakui bahwa probabilitas ini, yang ia terima hanya karena “lebih patut bagi
tujuan ilmu pengetahuan”, tidak masuk akal:
Probabilitas menghasilkan rangkaian
asam amino tertentu dari sitokrom-C adalah seperti kemungkinan seekor monyet
menulis sejarah manusia dengan mesin tik dengan mengabaikan kenyataan bahwa
kera itu menekan tuts-tuts secara acak.12
Rangkaian yang benar dari asam-asam
amino yang tepat saja tidak cukup bagi pembentukan salah satu molekul protein
yang terdapat dalam makhluk hidup. Di samping ini, masing-masing dari 20 tipe
asam amino yang berbeda yang terdapat dalam komposisi protein harus merupakan
asam amino Levo. Secara kimiawi, terdapat dua jenis yang berbeda, yaitu “levo”
(kiri) dan “dextro” (kanan). Perbedaan di antara keduanya adalah simetri cermin
antara struktur tiga dimensi mereka, yang serupa dengan simetri tangan kiri dan
kanan manusia. Asam-asam amino dari kedua jenis ini ditemukan dalam jumlah yang
sama di alam dan mereka dapat saling berikatan degnan sempurna.
Namun,penelitian mengungkapkan sebuah fakta yagn mengejutkan: semua protein
hewan dan tumbuhan, dari organisme paling sederhana hingga paling kompleks,
terdiri dari asam amino Levo. Jika ada satu saja asam amino Dextro yang terikat
pada struktur sebuah protein, maka protein tersebut menjadi tidak berfungsi.
Mari sesaat kita umpamakan bahwa kehidupan
muncul secara kebe-tulan seperti yang dinyatakan evolusionis. Dalam hal ini,
asam amino Levo dan asam amino Dextro yang terbentuk secara kebetulan
seharus-nya ada dalam jumlah seimbang di alam. Pertanyaan tentang bagaimana
protein dapat memilih asam amino Levo dari seluruh asam amino, dan mengapa
tidak ada satu pun asam amino Dextro terlibat dalam proses kehidupan, masih
menjadi tantangan bagi evolusionis. Dalam Britannica Science Encyclopaedia,
pembela teori evolusi yang terang-terangan, dinya-takan bahwa asam amino
seluruh makhluk hidup di bumi dan molekul pembangun polimer kompleks seperti
protein memiliki asimetri Levo yang sama. Ditambahkan bahwa ini sama artinya
dengan melempar uang logam sejuta kali dan selalu mendapatkan muka yang sama.
Dinyatakan juga bahwa tidak mungkin kita dapat memahami mengapa molekul menjadi
bentuk Levo atau Dextro. Pilihan ini berhubungan dengan sumber kehidupan di
bumi secara mengagumkan.13
Asam amino tidak cukup hanya dengan
tersusun dalam jumlah, urutan dan struktur tiga dimensi yang tepat. Pembentukan
protein juga mengharuskan molekul-molekul asam amino yang memiliki lebih dari
satu lengan saling berikatan melalui cabang tertentu saja. Ikatan seperti itu
disebut “ikatan peptida”. Asam-asam amino dapat saling berikatan dengan
berbagai cara; tetapi protein hanya terdiri dari asam-asam amino yang terikat
dengan ikatan “peptida”.
Penelitian menunjukkan bahwa asam
amino yang berikatan secara acak hanya dapat menghasilkan ikatan peptida pada
rasio 50% dan sisa-nya berikatan dengan ikatan lain yang tidak terdapat pada
protein. Agar berfungsi dengan baik, setiap asam amino yang menyusun protein
harus berikatan hanya dengan ikatan peptida, sebagaimana asam amino tersebut
harus dipilih dari yang berbentuk Levo saja. Tak diragukan lagi, tidak ada
mekanisme kontrol untuk memilih dan mengeluarkan asam amino Dextro dan secara
pribadi memastikan bahwa masing-masing asam amino membuat ikatan peptida dengan
yang lain.
Di bawah keadaan ini, probabilitas
dari molekul protein rata-rata yang mengandung 500 asam amino menyusun diri
sendiri dalam jumlah dan rangkaian yang tepat, sebagai tambahan atas
probabilitas dari semua asam amino yang dikandungnya adalah hanya yang levo dan
bergabung menggunakan hanya ikatan-ikatan peptida adalah sebagai berikut:
- Probabilitas
500 asam amino tersebut terpilih dengan tepat
=
1/20500 = 1/10650
- Probabilitas
asam amino berbentuk = 1/2500 = 1/10150
- Probabilitas
asam-asam amino bergabung dengan ikatan peptida = 1/2499 = 1/10150
PROBABILITAS TOTAL = 1/10950 , yaitu
1 peluang dalam 10950
Seperti dapat dilihat di bawah ini,
probabilitas pembentukan sebuah molekul protein yang terdiri dari 500 asam
amino adalah “1” banding angka 1 yang diikuti oleh 950 buah angka nol. Sebuah
angka yang tidak dapat dipahami pemikiran manusia. Ini hanya perhitungan
teoretis di atas kertas. Dalam kenyataan, probabilitas seperti itu berpeluang
“0” untuk terjadi. Dalam matematika, probabilitas yang lebih kecil dari 1
ban-ding 1050, secara statistik dianggap memiliki peluang “0” untuk terjadi.
Meskipun sudah sedemikian jauh
kemustahilan pembentukan secara kebetulan pada sebuah protein yang tersusun
dari 500 asam amino, kita masih dapat terus memaksa batas akal kita dengan
kemustahilan yang lebih tinggi lagi. Molekul “hemoglobin”, sebuah protein yang
sangat vital, terdiri dari 574 asam amino lebih besar dibandingkan protein yang
kita bahas di atas. Sekarang, pikirkan ini: dalam satu sel darah merah dari
miliaran yang ada dalam tubuh kita, terdapat “280.000.000” (280 juta) molekul
hemoglobin! Perkiraan usia bumi tidak memberi cukup waktu bagi pembentukan
secara “coba-coba” untuk satu protein saja, apalagi satu sel darah merah.
Kesimpulan dari semua ini adalah: evolusi telah jatuh ke dalam jurang
kemustahilan sejak tahap pembentukan sebuah protein.
Mencari Jawaban dari Pembangkitan Kehidupan
Karena menyadari keganjilan atas
kemungkinan pembentukan kehidupan melalui kebetulan, evolusionis tidak mampu
menyediakan penjelasan yang masuk akal untuk keyakinan mereka, maka mereka
mulai mencari jalan untuk menunjukkan bahwa keganjilan tersebut bukannya tidak
mungkin.
Mereka merancang berbagai eksperimen
laboratorium untuk menja-wab pertanyaan bagaimana kehidupan dapat mengawali
dirinya sendiri dari materi tidak hidup. Di antaranya yang paling terkenal dan
dihormati adalah “Eksperimen Miller” atau “Eksperimen Urey-Miller” yang
dilaku-kan oleh peneliti Amerika bernama Stanley Miller pada tahun 1953.
Dengan tujuan untuk membuktikan bahwa
asam-asam amino dapat muncul secara kebetulan. Miller membuat lingkungan dalam
laborato-riumnya yang dia asumsikan terdapat di bumi purba (yang kelak terbukti
tidak realistis) dan mulai bekerja. Campuran yang ia gunakan untuk atmosfir
purba ini terdiri dari amonia, metan, hidrogen dan uap air.
Miller mengetahui bahwa metan,
amonia, uap air dan hidrogen tidak akan saling bereaksi. Ia sadar bahwa ia
harus menyuntikkan energi ke dalam campuran untuk memulai reaksi. Dia
menganggap energi ini bisa berasal dari kilat dalam atmosfir purba, dan dengan
berdasarkan perkir-aan ini, ia menggunakan sumber penghasil listrik buatan
dalam ekspe-rimennya.
Miller mendidihkan campuran gas ini
pada suhu 100°C selama se-minggu, dan sebagai tambahan dia mengalirkan arus
listrik. Di akhir minggu, Miller menganalisis senyawa-senyawa kimia yang
terbentuk di dasar gelas percobaan dan menemukan tiga dari 20 jenis asam amino,
bahan dasar protein telah tersintesis.
Eksperimen ini membangkitkan semangat
evolusionis dan dianggap sebagai sukses besar. Didorong oleh eksperimen ini,
evolusionis segera membuat skenario baru. Miller dianggap telah membuktikan
bahwa asam-asam amino dapat terbentuk dengan sendirinya. Berdasarkan ini,
mereka segera membuat hipotesis tahap selanjutnya. Menurut skenario mereka,
asam-asam amino kemudian bergabung dalam urutan yang tepat secara kebetulan
untuk membentuk protein. Sebagian protein-protein yang terbentuk secara
kebetulan ini menempatkan diri mereka dalam struktur seperti membran yang
“entah bagaimana” muncul dan membentuk sel primitif. Sel-sel kemudian bergabung
dan membentuk organisme hidup. Arus utama terbesar dari skenario ini adalah
eksperi-men Miller.
Akan tetapi, eksperimen Miller hanya
akal-akalan dan telah terbukti tidak benar dalam segala aspek.
Ketidakabsahan Eksperimen Miller
Hampir setengah abadberlalu semenjak
Miller melakukan ekspe-rimennya. Walaupun telah ditunjukkan ketidakabsahannya
dalam banyak segi, evolusionis masih mengemukakan Miller dan hasil-hasilnya
sebagai bukti absolut bahwa kehidupan dapat terbentuk secara spontan dari materi
tidak hidup. Jika kita menilai eksperimen Miller secara kritis, tanpa bias dan
subjektivitas pemikiran evolusionis, bagaimanapun, nyata bahwa keadaannya tidak
secerah yang digambarkan para evolusionis. Miller menentukan untuk dirinya
sendiri tujuan untuk membuktikan bahwa asam-asam amino dapat membentuk diri
sendiri dalam kondisi bumi purba. Beberapa asam-asam amino dihasilkan, namun
pelaksanaan eksperimen ini bertentangan dengan degnan tujuannya dalam banyak
cara, seperti kita akan lihat sekarang.
l Miller mengisolasi asam-asam amino
dari lingkungannya segera setelah mereka terbentuk, dengan menggunakan
mekanisme yang dise-but cold trap. Jika dia tidak melakukannya, kondisi
lingkungan tempat asam amino terbentuk akan segera menghancurkan molekul ini.
Tentu saja tak ada artinya untuk
menganggap bahwa mekanisme yang disengaja seperti ini integral dengan kondisi
bumi purba, yang melibatkan radiasi ultraviolet, sambaran kilat, beragam zat
kimia, dan oksigen bebas dalam prosentase tinggi. Tanpa mekanisme seperti ini,
kalaupun ada satu asam amino terbentuk, ia akan segera hancur.
l Lingkungan atmosfir purba yang
disimulasikan Miller dalam eksperimennya tidak realistis. Nitrogen dan karbon
dioksida merupakan bagian dari lingkungan atmosfir purba, tapi Miller mengabaikan
ini dan malah menggunakan metan dan amonia.
Mengapa? Mengapa para evolusionis
berkeras pada poin bahwa atmosfir primitif mengandung metan (CH4), amonia
(NH3), dan uap air (H2O) dalam jumlah besar? Jawabannya sederhana: tanpa
amonia, mus-tahil mensintesis asam amino. Kevin McKean mengungkapkan hal ini
dalam sebuah artikel yang dimuat dalam majalah Discover:
Miller dan Urey meniru atmosfir bumi
dahulu kala dengan campuran metan dan amonia. Menurut mereka, bumi merupakan
campuran homogen dari logam, batuan dan es. Namun, dalam penelitian terakhir
terungkap bahwa pada saat itu bumi sangat panas dan terbentuk dari nikel dan
besi cair. Jadi, atmosfir kimiawi saat itu seharusnya didominasi nitrogen (N2),
karbon dioksida (CO2) dan uap air (H20). Tetapi gas-gas ini bukan gas-gas yang
tepat untuk mensintesis se-nyawa organik, seperti metan dan amonia.14
Setelah bungkam cukup lama, Miller
sendiri mengakui pula bahwa kondisi atmosfir dalam eksperimennya tidak
realistis.
l Hal penting lain yang mengugurkan
eksperimen Miller adalah bahwa atmosfir bumi mengandung cukup banyak oksigen
untuk menghancurkan semua asam amino yang terbentuk. Konsentrasi oksigen ini
akan menghalangi pembentukan asam-asam amino. Situasi ini secara telak
membantah eksperimen Miller yang sama sekali mengabaikan oksi-gen. Jika oksigen
digunakan dalam eksperimen tersebut, metan akan terurai menjadi karbon dioksida
dan air, dan amonia menjadi nitrogen dan air. Selain itu, dalam lingkungan
tanpa oksigen, juga tidak akan ada lapisan ozon. Tanpa perlindungan lapisan
ozon, asam-asam amino akan segera hancur oleh sinar ultraviolet yang sangat
intens.
l Di samping menghasilkan beberapa
asam-asam amino yang penting untuk kehidupan, eksperimen Miller juga menghasilkan
banyak asam organik yang bersifat merusak struktur dan fungsi makhluk hidup.
Jika ia tidak mengisolasi asam-asam amino tersebut dan membiarkannya dalam
lingkungan yang sama dengan senyawa-senyawa ini, reaksi kimia yang terjadi akan
menghancurkan atau mengubah asam amino menjadi senyawa lain. Selain itu, di
akhir eksperimen ini terbentuk sejumlah besar asam amino Dextro.16 Keberadaan
asam amino ini dengan sendirinya menyangkal teori evolusi, karena asam amino
Dextro tidak berfungsi dalam pembentukan sel makhluk hidup dan jika dilibatkan
dalam pembentukan protein akan membuat protein menjadi tidak berguna .
Kesimpulannya, kondisi-kondisi di
mana asam amino terbentuk da-lam eksperimen Miller, tidak cocok bagi kehidupan.
Medium pembentuk-annya merupakan campuran asam yang menghancurkan dan
mengoksi-dasi molekul-molekul berguna yang diperoleh.
Nyatanya, evolusionis sendiri
menyangkal teori evolusi, sebagai-mana biasa terjadi, dengan mengajukan
eksperimen ini sebagai “bukti”. Jika ada yang dibuktikan eksperimen ini, adalah
bahwa asam-asam amino hanya dapat dihasilkan dalam lingkungan laboratorium
terkendali di mana semua kondisi dirancang khusus oleh intervensi yang
disengaja. Berarti, kekuatan yang dapat menghasilkan kehidupan (bahkan sekadar
asam-asam amino yang “hampir hidup”) sudah pasti bukan peristiwa kebetulan,
tetapi kehendak yang disengaja dengan kata lain, Penciptaan. Karena itulah
setiap tahap Penciptaan merupakan tanda yang membuktikan kepada kita keberadaan
dan kekuasaan Allah SWT.
Molekul Menakjubkan: DNA
Teori evolusi tidak dapat
memberikan penjelasan logis atas keber-adaan molekul-molekul dasar struktur
sel, perkembangan di bidang ge-netika dan penemuan asam nukleat (DNA dan RNA)
telah menghasilkan masalah baru bagi teori evolusi.
Pada tahun 1955, penelitian James
Watson dan Francis Crick terha-dap DNA membawa era baru dalam biologi. Banyak
ilmuwan meng-alihkan perhatian mereka pada ilmu genetika. Sekarang, setelah
pene-litian bertahun-tahun, para ilmuwan telah memetakan hampir semua struktur DNA.
Di sini, kita perlu memberikan
beberapa informasi paling mendasar tentang struktur dan fungsi DNA.
Molekul yang disebut DNA, yang
ditemukan dalam nukleus pada setiap sel dari 100 trilyun sel di dalam tubuh
kita, mengandung rancang bangun lengkap untuk tubuh manusia. Informasi mengenai
seluruh ciri-ciri seseorang, dari penampilan fisik hingga struktur organ dalam,
tercatat dalam DNA dengan sistem pengkodean khusus. Informasi dalam DNA dikode
dalam urutan empat basa khusus yang membangun molekul ini. Basa ini dinamakan
A, T, G, C sesuai dengan huruf awal nama mereka. Seluruh perbedaan struktural
antara manusia tergantung pada variasi urutan huruf-huruf ini: semacam bank
data yang terdiri dari empat huruf. Semua perbedaan strurtural di antara
manusia tergantung pada variasi urutan basa-basa ini. Terdapat kurang lebih 3,5
miliar nukleotida, artinya, 3,5 miliar hurus dalam molekul DNA.
Informasi yang sangat banyak ini
dikode dalam komponen DNA yang disebut “gen”. Misalnya, informasi tentang mata
terdapat pada rangkaian gen khusus, sedangkan informasi tentang jantung
terdapat da-lam rangkaian gen yang lain. Sel menghasilkan protein dengan
menggu-nakan informasi dalam semua gen ini. Asam-asam amino yang memba-ngun
struktur protein ditentukan oleh susunan berurutan dari tiga nukleotida dalam
DNA.
Sampai di sini ada detail penting
yang harus diperhatikan. Kesalahan pada urutan nukleotida yang menyusun sebuah
gen akan membuat gen tersebut sama sekali tidak ber-fungsi. Dengan
mempertimbangkan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat 200 ribu gen, akan
semakin jelas betapa mustahilnya jutaan nukleotida yang membentuk gen-gen ini
tersusun secara kebetulan dalam urutan yang tepat. Seorang ahli biologi
evolusionis, Frank Salisbury, berkomentar tentang kemustahilan ini:
Sebuah protein berukuran sedang dapat
terdiri dari sekitar 300 asam amino. Gen DNA yang mengatur protein ini bisa
memiliki 1.000 nukleotida pada rantainya. Karena ada empat jenis nukleotida
dalam sebuah rantai DNA, sa-tu rantai dengan 1.000 nukleotida dapat tersusun
dalam 41000 bentuk. Dengan menggunakan sedikit ilmu aljabar (logaritma), kita
dapat melihat bahwa 41000 = 10600. Sepuluh dikali sepuluh sebanyak 600 kali
menghasilkan angka 1 yang diikuti 600 angka nol! Suatu angka di luar kemampuan
pemahaman kita.15
Angka 41000 ekivalen dengan 10600.
Angka ini didapatkan dengan menambahkan 600 angka nol sesudah angka 1. Angka 10
yang diikuti 11 angka nol berarti satu triliun. Tetapi sebuah angka dengan 600
angka nol sesudahnya, sulit kita bayangkan.
Seorang evolusionis, Prof. Ali
Demirsoy, terpaksa membuat peng-akuan mengenai hal ini sebagai berikut :
Kenyataannya, probabilitas
pembentukan protein dan asam nukleat (DNA-RNA) adalah probabilitas yang jauh
melampaui perkiraan. Lebih jauh, peluang rantai protein tertentu muncul menjadi
luar biasa kecil.16
Sebagai tambahan atas
ketidakmungkinan ini, DNA hampir tidak bisa terlibat dalam reaksi karena bentuk
spiral berantai gandanya. Ini juga membuat tidak mungkin menganggap bahwa DNA
merupakan dasar kehidupan.
Lebih jauh lagi, sementara DNA hanya
dapat bereplikasi dengan bantuan beberapa enzim yang merupakan protein pula,
sintesis enzim ini hanya dapat berlangsung dengan informasi yang dikode dalam
DNA. Karena saling membutuhkan, keduanya harus ada secara bersamaan untuk replikasi,
atau salah satunya “tercipta” sebelum yang lain. Seorang ahli mikrobiologi
Amerika, Jacobson, berkomentar mengenai hal ini:
Arahan untuk rencana-rencana
reproduksi untuk energi dan ekstraksi ma-teri dari lingkungannya, untuk urutan
pertumbuhan, dan untuk mekanisme efektor yang menerjemahkan perintah ke dalam
pertumbuhan semua harus ada sekaligus pada saat itu (ketika kehidupan dimulai).
Kombinasi semua ini sepertinya tidak mungkin terjadi secara kebetulan, dan
sering dianggap campur tangan ilahiah.17
Kutipan di atas ditulis dua tahun
sesudah struktur DNA diungkap-kan James Watson dan Francis Crick. Meskipun ilmu
pengetahuan telah maju cukup pesat, pertanyaan tersebut tetap belum terjawab
oleh evolusionis. Untuk menyimpulkan, perlunya DNA dalam reproduksi, dan
kebutuhan untuk memproduksi protein-protein ini sesuai dengan informasi dalam
DNA secara keseluruhan menghancurkan tesis para evolusionis.
Dua ilmuwan Jerman, Junker dan
Scherer, menjelaskan bahwa sin-tesis masing-masing molekul yang diperlukan untuk
evolusi kimiawi, mengharuskan kondisi-kondisi tertentu, dan bahwa probabilitas
bahan-bahan tersebut tersusun melalui metode yang secara teoretis sangat
berbeda adalah nol:
Sampai saat ini, tidak ada eksperimen
yang dapat menghasilkan seluruh mo-lekul yang dibutuhkan untuk evolusi kimiawi.
Karenanya, berbagai molekul ini harus dihasilkan di tempat-tempat berbeda pada
kondisi sangat sesuai, kemudian dibawa ke tempat lain untuk bereaksi dengan
melindunginya dari elemen-elemen berbahaya seperti hidrolisis dan fotolisis.18
Pendeknya, teori evolusi tidak dapat
membuktikan satu tahap evolusi pun yang diduga terjadi pada tingkat molekuler.
Untuk meringkaskan apa yang telah
kita bicarakan sejauh ini, baik asam-asam amino atau produknya, maupun protein
yang menyusun sel-sel makhluk hidup, dapat diproduksi dalam apa yang disebut
lingkungan “atmosfir primitif”. Lebih jauh lagi, faktor-faktor seperti struktur
protein yang sangat kompleks, sifat Levo dan Dextro, dan kesulitan dalam
pembentukan ikatan peptida hanyalah bagian dari alasan mengapa mereka tidak
akan dapat diproduksi dalam eksperimen-eksperiman apa pun di masa yang akan
datang.
Bahkan jika kita anggap sementara
bahwa protein entah bagaimana memang terbentuk secara kebetulan, hal ini tetap
tidak memiliki arti apa-apa, karena protein bukan apa-apa jika berdiri sendiri:
mereka tidak dapat bereproduksi sendiri. Sintesis protein hanya mungkin dengan
informasi yang dikodekan dalam molekul-molekul DNA dan RNA. Tanpa DNA dan RNA,
protein tidak mungkin bereproduksi. Urantan spesifik dari 20 asam amino yang
berbeda yang terkode pada DNA menentukan struktur dari masing-masing protein
dalam tubuh. Bagaimanapun, sebagaimana telah sangat jelas bagi semua yang telah
mengkaji molekul-molekul ini, tidak mungkin DNA dan RAN terbentuk secara
kebetulan.
Fakta Penciptaan
Dengan runtuhnya teori evolusi dalam
setiap bidang, nama-nama terkemuka dalam disiplin mikrobiologi hari ini
mengakui fakta penciptaan dan mulai mempertahankan pandangan bahwa segala
seuatu diciptakan oleh Pencipta yang sadar sebagai bagian dari penciptaan yang
agung. Hal ini telah menjadi fakta yang tidak dapat diabaikan. Ilmuwan yang
dapat mendekati karya mereka dengan pikiran terbuka telah mengembangkan
pandangan yang disebut “perancangan cerdas”. Michael J. Behe, salah seorang
yang paling terkemuka dari para ilmuwan ini, menyatakan bahwa ia menerima
keberadaan yang absolut dari Sang Pencipta dan menerangkan kebuntuan mereka
yang menyangkal fakta ini:
Usaha kumulatif meneliti sel -
meneliti kehidupan di tingkat molekuler - menghasilkan sebuah teriakan tajam,
jelas dan nyaring, "Desain!". Hasilnya sangat jelas dan begitu
signifikan, sehingga harus dikategorikan sebagai sebuah pencapaian terbesar
dalam sejarah ilmu pengetahuan. Keberhasilan ilmiah ini seharusnya
membangkitkan teriakan “Eureka” dari 10.000 mulut.
Tapi, tidak ada botol yang dibuka,
tidak ada tepukan tangan. Alih-alih, kerumitan yang luar biasa dari sebuah sel
ini disambut dengan keheningan yang mengherankan. Ketika hal ini muncul di
hadapan publik, kaki mulai bergoyang, dan nafas menjadi berat. Diam-diam
orang-orang menjadi lebih santai: bayak yang secara eksplisit mengakui hal yang
jelas itu tapi kemudian menatap ke lantai, bersalaman dan membiarkannya hilang
begitu saja. Mengapa komunitas ilmuwan tidak antusias menyambut penemuan yang
mengejutkan ini? Mengapa observasi desain ini diselimuti dengan tabir
intelektual? Yang menjadi dilema adalah bahwa ketika satu sisi seekor gajah
diberi label “intelligent design”, sisi yang lain harus diberi label “Tuhan”.
19
Dewasa ini, banyak orang bahkan tidak
menyadari bahwa mereka berada pada posisi menerima sebentuk buah pikiran yang
keliru sebagai kebenaran atas nama ilmu pengetahuan, alih-alih mempercayai
Allah. Mereka yang tidak menganggap kalimat “Allah menciptakanmu dari
kehampaan” sebagai cukup ilmiah dapat mempercayai bahwa makhluk hidup pertama
muncul dari kilat yang menyambar “sup purba” miliaran tahun yang lalu.
Sebagaimana telah kita uraikan dalam
buku ini, keseimbangan dalam alam teramat halus dan begitu banyak sehingga
sangat tidak masuk akal untuk mengklaim bahwa mereka berkembang “melalui
kebetulan”. Tidak peduli betapa banyak mereka yang tak dapat melepaskan diri
mereka dari ketidakmasukalan ini berusaha, tanda-tanda Allah di langit dan bumi
sangat jelas dan tak dapat disangkal.
Allah-lah Pencipta langit, bumi dan
segala sesuatu di antara keduanya.
Tanda-tanda Keberadaan-Nya meliputi
seluruh jagad raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar