Jumat, 16 Maret 2012

AYAT AL QURAN DAN ALAM SEMESTA


Dalam Surat al-Isra ayat ke-88, Allah menunjukkan keagungan Al Quran: “Katakanlah: 'Sesungguhnya jika manusia dan jin ber-kumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini; niscaya me-reka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun seba-gian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.'” (QS. Al Israa’, 17: 88)

Allah menurunkan Al Quran kepada manusia empat belas abad yang lalu. Beberapa fakta yang baru dapat diungkapkan dengan teknologi abad ke-21 ternyata telah dinyatakan Allah dalam Al Quran empat belas abad yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa Al Quran adalah salah satu bukti terpenting yang memungkinkan kita mengetahui keberadaan Allah.
Dalam Al Quran, terdapat banyak bukti bahwa Al Quran berasal dari Allah, bahwa umat manusia tidak akan pernah mampu membuat sesuatu yang menyerupainya. Salah satu bukti ini adalah ayat-ayat (tanda-tanda) Al Quran yang terdapat di alam semesta.
Sesuai dengan ayat “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilaat, 41: 53), banyak informasi yang ada dalam Al Quran ini sesuai dengan yang ada di dunia eksternal. Allah-lah yang telah menciptakan alam semesta dan karenanya memiliki pengetahuan mengenai semua itu. Allah juga yang telah menurunkan Al Quran. Bagi orang-orang beriman yang teliti, sungguh-sungguh, dan arif, banyak sekali informasi dan analisis dalam Al Quran yang dapat mereka lihat dan pelajari.
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa Al Quran bukanlah buku ilmu pengetahuan. Tujuan diturunkannya Al Quran adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat-ayat berikut:

“Alif lam ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu su-paya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan Yang Mahakuasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim, 14: 1) !

“… untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al Mu'min, 40: 54) !

Singkatnya, Allah menurunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi orang-orang beriman. Al Quran menjelaskan kepada manusia cara men-jadi hamba Allah dan mencari ridha-Nya.
 Betapapun, Al Quran juga memberi informasi dasar mengenai bebe-rapa hal seperti penciptaan alam semesta, kelahiran manusia, struktur atmosfer, dan keseimbangan di langit dan di bumi. Kenyataan bahwa informasi dalam Al Quran tersebut sesuai dengan temuan terbaru ilmu pengetahuan modern adalah hal penting, karena kesesuaian ini mene-gaskan bahwa Al Quran adalah “firman Allah”. Menurut ayat “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. An-Nisaa’, 4: 82), terdapat keserasian yang luar biasa antara pernyataan di dalam Al Quran dan dunia eksternal.
Pada halaman-halaman berikut kita akan membahas kesamaan yang luar biasa antara informasi tentang alam semesta yang ada dalam Al Quran dan dalam ilmu pengetahuan.

Teori Dentuman Besar (Big Bang) dan Ajarannya
Persoalan mengenai bagaimana alam semesta yang tanpa cacat ini mula-mula terbentuk, ke mana tujuannya, dan bagaimana cara kerja hu-kum-hukum yang menjaga keteraturan dan keseimbangan, sejak dulu merupakan topik yang menarik.
Pendapat kaum materialis yang berlaku selama beberapa abad hing-ga awal abad ke-20 menyatakan, bahwa alam semesta memiliki dimensi tak terbatas, tidak memiliki awal, dan akan tetap ada untuk selamanya. Menurut pandangan ini, yang disebut “model alam semesta yang statis”, alam semesta tidak memiliki awal maupun akhir.
Dengan memberikan dasar bagi filosofi materialis, pandangan ini menyangkal adanya Sang Pencipta, dengan menyatakan bahwa alam semesta ini adalah kumpulan materi yang konstan, stabil, dan tidak berubah-ubah. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-20 menghancurkan konsep-konsep primitif seperti model alam semesta yang statis. Saat ini, pada awal abad ke-21, melalui sejumlah besar percobaan, pengamatan, dan perhitungan, fisika modern telah mencapai kesimpulan bahwa alam semesta memiliki awal, bahwa alam diciptakan dari ketiadaan dan dimulai oleh suatu ledakan besar.
Selain itu, berlawanan dengan pendapat kaum materialis, kesim-pulan ini menyatakan bahwa alam semesta tidaklah stabil atau konstan, tetapi senantiasa bergerak, berubah, dan memuai. Saat ini, fakta-fakta tersebut telah diakui oleh dunia ilmu pengetahuan. Sekarang, marilah kita lihat bagaimana fakta-fakta yang sangat penting ini dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.

Pemuaian Alam Semesta
Pada tahun 1929, di observatorium Mount Wilson di California, seorang astronom Amerika bernama Edwin Hubble membuat salah satu temuan terpenting dalam sejarah astronomi. Ketika tengah mengamati bintang dengan teleskop raksasa, dia menemukan bahwa cahaya yang dipancarkan bintang-bintang bergeser ke ujung merah spektrum. Ia pun menemukan bahwa pergeseran ini terlihat lebih jelas jika bintangnya lebih jauh dari bumi. Temuan ini menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Berdasarkan hukum-hukum fisika yang diakui, spektrum sinar cahaya yang bergerak mendekati titik pengamatan akan cenderung ungu, sementara sinar cahaya yang bergerak menjauhi titik pengamatan akan cenderung merah. Pengamatan Hubble menunjukkan bahwa cahaya dari bintang-bintang cenderung ke arah warna merah. Ini berarti bahwa bintang-bintang tersebut senantiasa bergerak menjauhi kita.
Tidak lama sesudah itu, Hubble membuat temuan penting lainnya: Bintang dan galaksi bukan hanya bergerak men-jauhi kita, namun juga saling menjauhi. Satu-satunya kesimpulan yang dapat dibuat tentang alam semesta yang semua isinya bergerak saling menjauhi adalah bahwa alam semesta itu senantiasa memuai.
Agar lebih mudah dimengerti, bayangkan alam semesta seperti permukaan balon yang tengah ditiup. Sama seperti titik-titik pada per-mukaan balon akan saling menjauhi karena balon-nya mengembang, benda-benda di angkasa saling menjauhi karena alam semesta terus memuai. Sebenarnya, fakta ini sudah pernah ditemukan secara teoretis. Albert Einstein, salah seorang il-muwan termasyhur abad ini, ketika mengerjakan Teori Relativitas Umum, pada mulanya menyim-pulkan bahwa persamaan yang dibuatnya me-nunjukkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis. Namun, dia meng-ubah persamaan tersebut, dengan menambahkan sebuah “konstanta” un-tuk menghasilkan model alam semesta yang statis, karena hal ini merupa-kan ide yang dominan saat itu. Di kemudian hari Einstein menyebut perbuatannya itu sebagai “kesalahan terbesar dalam kariernya”.
Jadi, apakah pentingnya fakta pemuaian alam semesta ini terhadap keberadaan alam semesta?
Pemuaian alam semesta secara tidak langsung menyatakan bahwa alam semesta bermula dari satu titik tunggal. Hasil perhitungan menun-jukkan bahwa “satu titik tunggal” yang mengandung semua materi alam semesta ini pastilah memiliki “volume nol” dan “kepadatan tak terbatas”. Alam semesta tercipta akibat meledaknya titik tunggal yang memiliki vo-lume nol tersebut. Ledakan hebat yang menandakan awal terbentuknya alam semesta ini dinamakan Dentuman Besar (Big Bang), dan teori ini di-namai mengikuti nama ledakan tersebut.
Harus dikatakan di sini bahwa “volume nol” adalah istilah teoretis yang bertujuan deskriptif. Ilmu pengetahuan hanya mampu mendefi-nisikan konsep “ketiadaan”, yang melampaui batas pemahaman manu-sia, dengan menyatakan titik tunggal tersebut sebagai “titik yang memi-liki volume nol”. Sebenarnya, “titik yang tidak memiliki volume” ini ber-arti “ketiadaan”. Alam semesta muncul dari ketia-daan. Dengan kata lain, alam semesta diciptakan.

Fakta ini, yang baru ditemukan oleh fisika modern pada akhir abad ini, telah diberitakan Al Quran empat belas abad yang lalu:“Dia Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al An'aam, 6:101)

Jika kita membandingkan pernyataan pada ayat di atas dengan teori Ledakan Besar, terlihat kesamaan yang sangat jelas. Namun, teori ini baru diperkenalkan sebagai teori ilmiah pada abad ke-20.
Pemuaian alam semesta merupakan salah satu bukti terpenting bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan. Meskipun fakta di atas baru ditemukan pada abad ke-20, Allah telah memberitahukan kenyataan ini kepada kita dalam Al Quran 1.400 tahun yang lalu:

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesung-guhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz-Dzariyaat, 51: 47) !

Pada tahun 1948, George Gamov mengemukakan gagasan lain me-ngenai teori Ledakan Besar. Dia menyatakan bahwa setelah terbentuknya alam semesta dari ledakan hebat, di alam semesta seharusnya terdapat surplus radiasi, yang tersisa dari ledakan tersebut. Lebih dari itu, radiasi ini seharusnya tersebar merata di seluruh alam semesta.
Bukti “yang seharusnya ada” ini segera ditemukan. Pada tahun 1965, dua orang peneliti bernama Arno Penzias dan Robert Wilson, menemu-kan gelombang ini secara kebetulan. Radiasi yang disebut “radiasi latar belakang” ini tampaknya tidak memancar dari sumber tertentu, tetapi meliputi seluruh ruang angkasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa gelombang panas yang memancar secara seragam dari segala arah di angkasa ini merupakan sisa dari tahapan awal Ledakan Besar. Penzias dan Wilson dianugerahi Hadiah Nobel untuk temuan ini.
Pada tahun 1989, NASA mengirimkan satelit Cosmic Background Explorer (COBE) ke angkasa untuk melakukan penelitian mengenai radiasi latar belakang. Pemindai sensitif pada satelit hanya membutuhkan waktu delapan menit untuk menegaskan perhitungan Penzias dan Wilson. COBE telah menemukan sisa-sisa ledakan hebat yang mengawali terbentuknya alam semesta.
Bukti penting lain berkenaan dengan Ledakan Besar adalah jumlah hidrogen dan helium di ruang angkasa. Pada penghitungan terbaru, diketahui bahwa konsentrasi hidrogen-helium di alam semesta sesuai dengan penghitungan teoretis konsentrasi hidrogen-helium yang tersisa dari Ledakan Besar. Jika alam semesta tidak memiliki awal dan jika alam semesta ada sejak adanya keabadian (waktu yang tak terhingga), seharusnya hidrogen terpakai seluruhnya dan diubah menjadi helium.
Semua bukti kuat ini memaksa komunitas ilmiah untuk menerima teori Ledakan Besar. Model ini merupakan titik terakhir yang dicapai oleh para ahli kosmologi berkaitan dengan awal mula dan pembentukan alam semesta.
Dennis Sciama, yang membela teori keadaan ajeg (steady-state) bersa-ma Fred Hoyle selama bertahun-tahun, menggambarkan posisi terakhir yang mereka capai setelah terkumpulnya semua bukti tentang teori Ledakan Besar. Sciama mengatakan bahwa ia telah ambil bagian dalam perdebatan sengit antara para pembela teori keadaan ajeg dan mereka yang menguji dan berharap dapat menyangkal teori tersebut. Dia me-nambahkan bahwa dulu dia membela teori keadaan ajeg bukan karena menganggap teori tersebut benar, melainkan karena berharap bahwa teori itu benar. Fred Hoyle bertahan menghadapi semua keberatan terha-dap teori ini, sementara bukti-bukti yang berlawanan mulai terungkap. Selanjutnya, Sciama bercerita bahwa pertama-tama ia menentang bersa-ma Hoyle. Akan tetapi, saat bukti-bukti mulai bertumpuk, ia mengaku bahwa perdebatan tersebut telah selesai dan teori keadaan ajeg harus dihapuskan.
Prof. George Abel dari University of California juga mengatakan bah-wa sekarang telah ada bukti yang menunjukkan bahwa alam semesta ber-mula miliaran tahun yang lalu, yang diawali dengan Dentuman Besar. Dia mengakui bahwa dia tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima teori Dentuman Besar.
Dengan kemenangan teori Dentuman Besar, konsep “zat yang kekal” yang merupakan dasar filosofi materialis dibuang ke tumpukan sampah sejarah. Jadi, apakah yang ada sebelum Dentuman Besar, dan kekuatan apakah yang menjadikan alam semesta ini “ada” melalui sebuah dentum-an besar, jika sebelumnya alam semesta ini “tidak ada”? Pertanyaan ini jelas menyiratkan, dalam kata-kata Arthur Eddington, adanya fakta “yang tidak menguntungkan secara filosofis” (tidak menguntungkan bagi materialis), yaitu adanya Sang Pencipta. Athony Flew, seorang filsuf ateis terkenal, berkomentar tentang hal ini sebagai berikut:
Semua orang tahu bahwa pengakuan itu baik bagi jiwa. Oleh karena itu, saya akan memulai dengan mengaku bahwa kaum ateis Strato-nician telah dipermalukan oleh konsensus kosmologi kontemporer. Tampaknya ahli kosmologi memiliki bukti-bukti ilmiah tentang hal yang menurut St. Thomas tidak dapat dibuktikan secara filosofis; yaitu bahwa alam semesta memiliki permulaan. Sepanjang alam semesta dapat dianggap tidak memiliki akhir maupun permulaan, orang tetap mudah menyatakan bahwa keberadaan alam semesta, dan segala sifatnya yang paling mendasar, harus diterima sebagai penjelasan terakhir. Meskipun saya masih percaya bahwa hal ini tetap benar, tetapi benar-benar sulit dan tidak nyaman mempertahankan posisi ini di depan cerita Dentuman Besar.
Banyak ilmuwan, yang tidak secara buta terkondisikan menjadi ateis, telah mengakui keberadaan Yang Maha Pencipta dalam penciptaan alam semesta. Sang Pencipta pastilah Dia yang menciptakan zat dan ruang/ waktu, tetapi Dia tidak bergantung pada ciptaannya. Seorang ahli astro-fisika terkenal bernama Hugh Ross mengatakan:
Jika waktu memiliki awal yang bersamaan dengan alam semesta, seperti yang dikatakan teorema-ruang, maka penyebab alam semesta pastilah suatu wujud yang bekerja dalam dimensi waktu yang benar-benar independen dari, dan telah ada sebelum, dimensi waktu kosmos. Kesimpulan ini sangat penting bagi pemahaman kita tentang siapakah Tuhan, dan siapa atau apakah yang bukan Tuhan. Hal ini mengajarkan bahwa Tuhan bukanlah alam semesta itu sendiri, dan Tuhan tidak berada di dalamnya
Zat dan ruang/waktu diciptakan oleh Yang Maha Pencipta, yaitu Dia yang terlepas dari gagasan tersebut. Sang Pencipta adalah Allah, Dia adalah Raja di surga dan di bumi.
Allah memberi tahu bukti-bukti ilmiah ini dalam Kitab-Nya, yang Dia turunkan kepada kita manusia empat belas abad lalu untuk menun-jukkan keberadaan-Nya.

Kesempurnaan di Alam Semesta

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” ( QS. Al Mulk, 67: 3 - 4) !

Di alam semesta, miliaran bintang dan galaksi yang tak terhitung jumlahnya bergerak dalam orbit yang terpisah. Meskipun demikian, se-muanya berada dalam keserasian. Bintang, planet, dan bulan beredar pa-da sumbunya masing-masing dan dalam sistem yang ditempatinya ma-sing-masing. Terkadang galaksi yang terdiri atas 200-300 miliar bintang bergerak melalui satu sama lain. Selama masa peralihan dalam beberapa contoh yang sangat terkenal yang diamati oleh para astronom, tidak terjadi tabrakan yang menyebabkan kekacauan pada keteraturan alam semesta.
Di seluruh alam semesta, besarnya kecepatan benda-benda langit ini sangat sulit dipahami bila dibandingkan dengan standar bumi. Jarak di ruang angkasa sangatlah besar bila bandingkan dengan pengukuran yang dilakukan di bumi. Dengan ukuran raksasa yang hanya mampu digambarkan dalam angka saja oleh ahli matematika, bintang dan planet yang bermassa miliaran atau triliunan ton, galaksi, dan gugus galaksi bergerak di ruang angkasa dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Misalnya, bumi berotasi pada sumbunya dengan kecepatan rata-rata 1.670 km/jam. Dengan mengingat bahwa peluru tercepat memiliki kece-patan rata-rata 1.800 km/jam, jelas bahwa bumi bergerak sangat cepat meskipun ukurannya sangat besar.
Kecepatan orbital bumi mengitari matahari kurang-lebih enam kali lebih cepat dari peluru, yakni 108.000 km/jam. (Andaikan kita mampu membuat kendaraan yang dapat bergerak secepat ini, kendaraan ini dapat mengitari bumi dalam waktu 22 menit.)
Namun, angka-angka ini baru mengenai bumi saja. Tata surya bah-kan lebih menakjubkan lagi. Kecepatan tata surya mencapai tingkat di luar batas logika manusia. Di alam semesta, meningkatnya ukuran suatu tata surya diikuti oleh meningkatnya kecepatan. Tata surya beredar mengitari pusat galaksi dengan kecepatan 720.000 km/jam. Kecepatan Bima Sakti sendiri, yang terdiri atas 200 miliar bintang, adalah 950.000 km/jam di ruang angkasa.
Kecepatan yang luar biasa ini menunjukkan bahwa hidup kita berada di ujung tanduk. Biasanya, pada suatu sistem yang sangat rumit, kecela-kaan besar sangat sering terjadi. Namun, seperti diungkapkan Allah da-lam ayat di atas, sistem ini tidak memiliki “cacat” atau “tidak seimbang”. Alam semesta, seperti juga segala sesuatu yang ada di dalamnya, tidak dibiarkan “sendiri” dan sistem ini bekerja sesuai dengan keseimbangan yang telah ditentukan Allah.

Orbit dan Alam Semesta yang Berotasi
Salah satu sebab utama yang menghasilkan keseimbangan di alam semesta, tidak diragukan lagi, adalah beredarnya benda-benda angkasa sesuai dengan orbit atau lintasan tertentu. Walaupun baru diketahui akhir-akhir ini, orbit ini telah ada di dalam Al Quran:

“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (QS. Al Anbiyaa’, 21: 33) !

Bintang, planet, dan bulan berputar pada sumbunya dan dalam sis-temnya, dan alam semesta yang lebih besar bekerja secara teratur seperti pada roda gigi suatu mesin. Tata surya dan galaksi kita juga bergerak mengitari pusatnya masing-masing. Setiap tahun bumi dan tata surya bergerak 500 juta kilometer menjauhi posisi sebelumnya. Setelah dihi-tung, diketahui bahwa bila suatu benda langit menyimpang sedikit saja dari orbitnya, hal ini akan menyebabkan hancurnya sistem tersebut. Misalnya, marilah kita lihat apa yang akan terjadi bila orbit bumi menyim-pang 3 mm lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya.
Selagi berotasi mengitari matahari, bumi mengikuti orbit yang berdeviasi sebesar 2,8 mm dari lintasannya yang benar setiap 29 km. Orbit yang diikuti bumi tidak pernah berubah karena penyimpangan sebesar 3 mm akan menyebabkan kehancuran yang hebat. Andaikan penyimpangan orbit adalah 2,5 mm, dan bukan 2,8 mm, orbit bumi akan menjadi sangat luas dan kita semua akan membeku. Andaikan penyimpangan orbit adalah 3,1 mm, kita akan hangus dan mati. (Bilim ve Teknik, Juli 1983)

Matahari
Berjarak 150 juta km dari bumi, matahari menyediakan energi yang kita butuhkan secara terus-menerus.
Pada benda angkasa yang berenergi sangat besar ini, atom hidrogen terus-menerus berubah menjadi helium. Setiap detik 616 miliar ton hidro-gen berubah menjadi 612 miliar ton helium. Selama sedetik itu, energi yang dihasilkan sebanding dengan ledakan 500 juta bom atom.
Kehidupan di bumi dimungkinkan oleh adanya energi dari matahari. Keseimbangan di bumi yang tetap dan 99% energi yang dibutuhkan un-tuk kehidupan disediakan oleh matahari. Separo energi ini kasatmata dan berbentuk cahaya, sedangkan sisanya berbentuk sinar ultraviolet, yang tidak kasatmata, dan berbentuk panas.
Sifat lain dari matahari adalah memuai secara berkala seperti lonceng. Hal ini berulang setiap lima menit dan permukaan matahari bergerak mendekat dan menjauh 3 km dari bumi dengan kecepatan 1.080 km/jam.
Matahari hanyalah salah satu dari 200 juta bintang dalam Bimasakti. Meskipun 325.599 kali lebih besar dari bumi, matahari merupakan salah satu bintang kecil yang terdapat di alam semesta. Matahari berjarak 30.000 tahun cahaya dari pusat Bimasakti, yang berdiameter 125.000 tahun cahaya. (1 tahun cahaya = 9.460.800.000.000 km.)

Perjalanan Matahari

“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah kete-tapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yaasin, 36: 38) !

Berdasarkan perhitungan para astronom, akibat aktivitas galaksi kita, matahari berjalan dengan kecepatan 720.000 km/jam menuju Solar Apex, suatu tempat pada bidang angkasa yang dekat dengan bintang Vega. (Ini berarti matahari bergerak sejauh kira-kira 720.000x24 = 17.280.000 km dalam sehari, begitu pula bumi yang bergantung padanya.)

Langit Tujuh Lapis

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS. Ath-Thaalaq, 65: 12) !
Dalam Al Quran Allah menyebutkan tujuh surga atau langit. Ketika ditelaah, atmosfer bumi ternyata terbentuk dari tujuh lapisan. Di atmosfer terdapat suatu bidang yang memisahkan lapisan dengan lapisan. Berdasarkan Encyclopedia Americana (9/188), lapisan-lapisan yang berikut ini bertumpukan, bergantung pada suhu.
Lapisan pertama TROPOSFER: Lapisan ini mencapai ketebalan 8 km di kutub dan 17 km di khatulistiwa, dan mengandung sejumlah besar awan. Setiap kilometer suhu turun sebesar 6,5C, bergantung pada ke-tinggian. Pada salah satu bagian yang disebut tropopause, yang dilintasi arus udara yang bergerak cepat, suhu tetap konstan pada 57C.
Lapisan kedua STRATOSFER: Lapisan ini mencapai ketinggian 50 km. Di sini sinar ultraviolet diserap, sehingga panas dilepaskan dan suhu mencapai 0C. Selama penyerapan ini, dibentuklah lapisan ozon yang penting bagi kehidupan.
Lapisan ketiga MESOSFER: Lapisan ini mencapai ketinggian 85 km. Di sini suhu turun hingga 100C.
Lapisan keempat TERMOSFER: Peningkatan suhu berlangsung lebih lambat
Lapisan kelima IONOSFER: Gas pada lapisan ini berbentuk ion. Komunikasi di bumi menjadi mungkin karena gelombang radio dipantulkan kembali oleh ionosfer.
Lapisan keenam EKSOSFER: Karena berada di antara 500 dan 1000 km, karakteristik lapisan ini berubah sesuai aktivitas matahari.
Lapisan ketujuh MAGNETOSFER: Di sinilah letak medan magnet bumi. Penampilannya seperti suatu bidang besar yang kosong. Partikel subatom yang bermuatan energi tertahan pada suatu daerah yang disebut sabuk radiasi Van Allen.

Gunung Mencegah Gempa Bumi

“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang.” (QS. Luqman, 30: 10)

“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak?” (QS. An-Naba’, 78: 7)

Informasi yang diperoleh melalui penelitian geologi tentang gunung sangatlah sesuai dengan ayat Al Quran. Salah satu sifat gunung yang paling signifikan adalah kemunculannya pada titik pertemuan lempeng-an-lempengan bumi, yang saling menekan saat saling mendekat, dan gunung ini “mengikat” lempengan-lempengan tersebut. Dengan sifat ter-sebut, pegunungan dapat disamakan seperti paku yang menyatukan kayu.
Selain itu, tekanan pegunungan pada kerak bumi ternyata mencegah pengaruh aktivitas magma di pusat bumi agar tidak mencapai permu-kaan bumi, sehingga mencegah magma menghancurkan kerak bumi.



Air Laut Tidak Saling Bercampur

“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.” (QS. Ar-Rahmaan, 55: 19-20) !

Pada ayat di atas ditekankan bahwa dua badan air bertemu, tetapi tid-ak saling bercampur akibat adanya batas. Bagaimana ini dapat terjadi? Biasanya, bila air dari dua lautan bertemu, diduga airnya akan saling bercampur dengan suhu dan konsentrasi garam cenderung seimbang. Namun, kenyataan yang terjadi berbeda dengan yang diperkirakan. Mi-salnya, meskipun Laut Tengah dan Samudra Atlantik, serta Laut Merah dan Samudra Hindia secara fisik saling bertemu, airnya tidak saling bercampur. Ini karena di antara keduanya terdapat batas. Batas ini adalah gaya yang disebut “tegangan permukaan”.

Dua Kode dalam Besi
Besi adalah satu dari empat unsur yang paling berlimpah di bumi. Selama berabad-abad besi merupakan salah satu logam terpenting bagi umat manusia. Ayat yang berkenaan dengan besi adalah sebagai berikut:

“…Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (QS. Al Hadiid, 57: 25) !

Ayat ini melibatkan dua kode matematika yang sangat menarik.
“Al Hadid” (besi) adalah surat ke-57 di dalam Al Quran. Nilai numerik (dalam sistem “Abjad” Arab, setiap huruf memiliki nilai numerik) huruf-huruf dari kata “Al Hadid” jumlahnya sama dengan 57, yakni nomor massa besi.
Nilai numerik (Abjad) dari kata “Hadid” (besi) sendiri, tanpa penambahan “al”, jumlahnya 26, yakni nomor atom besi.

Picture Text

“Dia yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS. Al Mulk, 67: 3-4) !

“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Hadiid, 57: 1-2) !

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz-Dzariyaat, 51: 47) !

“Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu. (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya.” (QS. Al An'am, 6: 101-104) !

“…Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (QS. Al Hadiid, 57: 25) !





BAB 4

KERUNTUHAN TEORI EVOLUSI



Teori evolusi adalah filsafat dan konsepsi dunia yang menghasilkan hipotesis-hipotesis palsu, asumsi dan skenario khayalan untuk menjelaskan keberadaan dan asal usul kehidupan secara kebetulan semata. Akar dari filsafat ini berakar jauh semenjak zaman Yunani kuno.
Semua filsafat ateis yang mengingkari penciptaan, langsung maupun tidak mengambil dan mempertahankan ide evolusi ini. Kondisi serupa saat ini terjadi pada semua ideologi dan sistem yang bertentangan dengan agama.
Gagasan evolusioner telah diselubungi dengan penyamaran ilmiah selama satu setengah abad silam untuk membenarkan dirinya sendiri. Walaupun diajukan sebagai teori ilmiah sepanjang pertengahan abad ke-19, teori ini di luar semua usaha keras para pembelanya, sebegitu jauh belum dibuktikan oleh penemuan atau eksperimen ilmiah apa pun. Jelasnya, “satu-satunya bentuk ilmiah” yang menjadi sandaran utama teori ini telah berulang kali dan terus-menerus menunjukkan bahwa teori ini tidak memiliki dasar dalam kenyataan.
Eksperimen di laboratorium dan perhitungan probabilitas mem-buktikan bahwa asam amino, cikal kehidupan tidak dapat muncul secara kebetulan. Begitu pula sel, yang menurut anggapan evolusionis muncul secara kebetulan pada kondisi bumi primitif dan tidak terkendali, tidak dapat disintesis oleh laboratorium-laboratorium abad ke-20 yang ter-canggih sekalipun. Tidak pernah ditemukan di belahan dunia mana pun satu saja makhluk “bentuk transisi” yang menunjukkan evolusi bertahap organisme maju dari organisme yang lebih primitif sebagaimana yang dinyatakan para neo-Darwinis, walau melalui pencarian catatan fosil secara teliti dan dalam waktu yang panjang.
Dengan berusaha keras mengumpulkan bukti-bukti evolusi, para evolusionis justru secara tidak sengaja telah membuktikan sendiri bahwa evolusi tidak dapat terjadi sama sekali!
 Orang yang pertama kali mengemukakan teori evolusi sebagaimana yang dipertahankan dewasa ini, adalah seorang naturalis amatir dari Inggris, Charles Robert Darwin. Darwin mempublikasikan pandangan-nya ini dalam sebuah buku yang berjudul The Origin of Species, By Means of Natural Selection pada tahun 1859. Darwin menyatakan dalam bukunya bahwa semua makhluk hidup memiliki nenek moyang yang sama dan mereka berevolusi satu sama lain melalui seleksi alam. Individu-individu yang beradaptasi pada habitat mereka dengan cara terbaik, akan menu-runkan sifat-sifat mereka kepada generasi berikutnya, dan dengan aku-mulasi selama jangka waktu yang panjang sifat-sifat yang menguntung-kan ini lama-kelamaan terakumulasi dan mengubah suatu individu menjadi spesies yang sama sekali berbeda dengan nenek moyangnya. Manusia merupakan hasil paling maju dari mekanisme seleksi alam ini. Singkatnya, suatu spesies berasal dari spesies lain.
Gagasan Darwin yang fantastis ini diambil dan dipromosikan oleh kalangan ideologis dan politis tertentu dan teori ini menjadi sangat populer. Ini terutama disebabkan oleh belum memadainya tingkat pengetahuan zaman itu untuk mengungkapkan kekeliruan skenario imajiner Darwin. Saat Darwin mengajukan asumsinya, disiplin ilmu genetika, mikrobio-logi dan biokimia belum ada. Jika disiplin-disiplin ilmu ini telah ada, Darwin akan dengan mudah mengetahui bahwa teorinya benar-benar tidak ilmiah dan karenanya tidak akan mencoba untuk mengajukan klaim-klaim tanpa arti tersebut: informasi yang menentukan spesies telah terdapat dalam gen dan tidak mungkin bagi seleksi alam untuk menghasilkan spesies baru dengan mengubah gen-gen.
Di saat gema buku Darwin tengah ber-kumandang, seorang ahli botani Austria bernama Gregor Mendel menemukan hukum penurunan sifat pada tahun 1865. Meskipun tidak banyak dikenal orang hingga akhir abad ke-19, penemuan Mendel mendapat perhatian besar di awal tahun 1900-an. Inilah awal kelahiran ilmu genetika. Beberapa waktu kemudian, struktur gen dan kromosom ditemukan. Pada tahun 1950-an, penemuan struktur molekul DNA yang berisi informasi genetis menghempaskan teori evolusi ke dalam krisis, karean asal usul dari informasi dalam DNA yang berjumlah luar biasa tidak mungkin dijelaskan dengan peristiwa kebetulan.
Di samping semua perkembangan ilmiah ini, tidak ada bentuk transisi untuk menunjukkan evolusi bertahap dari organisme hidup dasri spesies primitif ke spesies maju pernah ditemukan meskipun setelah pencarian bertahun-tahun.
Perkembangan ini seharusnya membuat teori Darwin terbuang dalam keranjang sampah sejarah. Namun ini tidak terjadi, karena ada kelompok-kelompok tertentu yang bersikeras merevisi, memperbarui dan mengangkat kembali teori ini pada kedudukan ilmiah. Kita dapat memahami maksud upaya-upaya tersebut hanya jika menyadari bahwa di belakang teori ini terdapat tujuan ideologis, bukan sekadar kepen-tingan ilmiah.
Bagaimanapun, beberapa kalangan yang mempercayai perlunya mempertahankan teori yang telah menemui jalan buntu ini segera me-rancang sebuah model baru. Nama model baru ini adalah neo-Darwin-isme. Menurut teori ini, spesies berevolusi sebagai hasil dari mutasi perubahan kecil pada gen, dan individu terkuat bertahan hidup melalui mekanisme seleksi alam. Bagaimanapun, ketika terbukti bahwa meka-nisme yang dikemukakan neo-Darwinisme tidak absah dan perubahan-perubahan kecil tidak memadai untuk pembentukan makhluk hidup, evolusionis terus mencari model-model baru. Mereka mengajukan klaim baru yang disebut “punctuated equilibrium” yang tidak memiliki landasan rasional maupun ilmiah apa pun. Model ini mengajukan bahwa makhluk hidup tiba-tiba berevolusi menjadi spesies lain tanpa bentuk transisi apa-apa. Dengan kata lain, spesies tanpa “nenek moyang” evolusioner tiba-tiba muncul. Ini merupakan sebuah cara untuk menggambarkan pencip-taan, walaupun evolusionis akan segan mengakui ini. Mereka mencoba utnuk menutupinya dengan skenario yang tidak dapat dipahami. Misal-nya, mereka berkata bahwa burung pertama muncul dari sebutir telur reptil. Teori yang sama juga mengajukan bahwa binatang penghuni darat pemakan daging dapat berubah menjadi paus raksasa, karena mengalami transformasi yang menyeluruh dan seketika.
Pernyataan-pernyataan ini, yang sama sekali bertentangan dengan semua hukum-hukum genetika, biofisika dan biokimia ini, sama ilmiah-nya dengan dongeng katak yang menjadi pangeran! Dalam ketidak-berdayaan karena pandangan neo-Darwinis terpuruk dalam krisis, sejumlah ahli paleontologi pro-evolusi mempercayai teori ini, teori baru yang bahkan lebih ganjil daripada neo-Darwinisme itu sendiri.
Satu-satunya tujuan model ini adalah memberikan penjelasan untuk mengisi celah dalam catatan fosil yang tidak dapat dijelaskan model neo-Darwinis. Namun, usaha menjelaskan kekosongan fosil dalam evolusi burung dengan pernyataan bahwa “seekor burung muncul tiba-tiba dari sebutir telur reptil” sama sekali tidak rasional. Sebagaimana diakui oleh evolusionis sendiri, evolusi dari satu spesies ke spesies lain membutuh-kan perubahan besar informasi genetis yang menguntungkan. Akan teta-pi, tidak ada mutasi yang memperbaiki informasi genetis atau menam-bahkan informasi baru padanya. Mutasi hanya merusak informasi gene-tis. Dengan demikian, “mutasi besar-besaran” yang digambarkan oleh model punctuated equilibrium hanya akan menyebabkan pengurangan atau perusakan “besar-besaran” pada informasi genetis.
Teori punctuated equilibrium jelas-jelas merupakan hasil imajinasi belaka. Namun walau adanya kebenaran yang nyata ini, pembela evolusi tidak ragu-ragu untuk menjunjung teori ini. Fakta bahwa model evolusi yanga diajukan Darwin tidak dapat dibuktikan dengan catatan fosil memaksa mereka untuk melakukannya. Darwin menyatakan bahwa spesies mengalami perubahan bertahap, yang membutuhkan keberadaan makhluk aneh setengah-burung/setengah-reptil atau setengah-ikan/ setengah-reptil. Bagaimanapun, tak satu pun dari “bentuk transisi” ini ditemukan walau dikaji secara meluas oleh para evolusionis dan ratusan ribu fosit telah digali.
Evolusionis menggunakan model punctuated equilibrium dengan harapan untuk menyembunyikan kegagalan besar dari fosil ini. Sebagai-mana telah dinyatakan sebelumnya, sangat jelas bahwa teori ini adalah khayalan, maka ia segera menelan dirinya sendiri. Model punctuated equilibrium tidak pernah diajukan sebagai sebuah model yang konsisten tetapi lebih digunakan sebagai pelarian dari masalah tidak sesuainya model evolusi bertahap. Karena evolusionis dewasa ini menyadari bahwa organ-organ kompleks seperti mata, sayap, paru-paru, otak dan lain-lain secara eksplisit membantah model evolusi betahap, dalam masalah khusus ini mereka terpaksa berlindung di balik interpretasi fantastis dari model punctuated equilibrium.

Adakah Catatan Fosil yang Membuktikan Teori Evolusi?
Menurut teori evolusi, evolusi dari satu spesies ke spesies lain berlangsung secara bertahap, sedikit demi sedikit dlam jangka waktu jutaan tahun. Kesimpulan logis dari klaim ini adalah bahwa seharusnya pernah terdapat sangat banyak organisme hidup yang disebut “bentuk transisi” selama periode perubahan yang panjang ini. Karena evolusionis berpendapat bahwa semua makhluk hidup berevolusi dari makhluk hidup lain melalui perubahan bertahap, maka seharusnya mereka muncul dalam jumlah dan variasi sampai jutaan.
Jika binatang-binatang seperti ini memang pernah ada, maka kita seharusnya menemukan sisa-sisa mereka di mana-mana. Malah, jika tesis ini benar, jumlah bentuk-bentuk transisi antara ini pun semestinya jauh lebih besar daripada spesies binatang masa kini dan sisa-sisa mereka seharusnya ditemukan di seluruh penjuru dunia.
Semenjak Darwin, evolusionis telah mencari fosil-fosil dan hasil-hasilnya bagi mereka lebih merupakan kekecewaan yang mendalam. Tidak pernah ditemukan di manapun di dunia baik di daratan maupun di kedalaman laut bentuk transisi antara apa pun dari dua spesies.
Darwin sendiri sadar akan ketiadaan bentuk-bentuk peralihan ter-sebut. Ia berharap bentuk-bentuk peralihan itu akan ditemukan di masa mendatang. Namun di balik harapan besarnya ini, ia sadar bahwa rin-tangan utama teorinya adalah ketiadaan bentuk-bentuk peralihan. Kare-na itulah dalam buku The Origin of Species, pada bab “Difficulties of the Theory” ia menulis:
… Jika suatu spesies memang berasal dari spesies lain melalui perubahan sedikit demi sedikit, mengapa kita tidak melihat sejumlah besar bentuk transisi di mana pun? Mengapa alam tidak berada dalam keadaan kacau-balau, tetapi justru seperti kita lihat, spesies-spesies hidup dengan bentuk sebaik-baiknya?.... Menurut teori ini harus ada bentuk-bentuk peralihan dalam jumlah besar, tetapi mengapa kita tidak menemukan mereka terkubur di kerak bumi dalam jumlah tidak terhitung?.... Dan pada daerah peralihan, yang memiliki kondisi hidup peralihan, mengapa sekarang tidak kita temu-kan jenis-jenis peralihan dengan kekerabatan yang erat? Telah lama kesulit-an ini sangat membingungkan saya. 1
Darwin memang layak untuk khawatir. Masalah ini pun menggang-gu evolusionis lain. Seorang ahli paleontologi Inggris ternama, Derek V. Ager, mengakui fakta ini meskipun dirinya seorang evolusionis:
Jika kita mengamati catatan fosil secara terperinci, baik pada tingkat ordo maupun spesies, maka yang selalu kita temukan bukanlah evolusi bertahap, namun ledakan tiba-tiba satu kelompok makhluk hidup yang disertai kepunahan kelompok lain. 2
Kekosongan dalam catatan fosil tidak dapat dijelaskan dengan la-munan bahwa belum cukup banyak fosil yang digali dan bahwa fosil yang hilang ini akan ditemukan suatu hari. Seorang evolusionis ahli pale-ontologi, T. Neville George mejelaskan alasannya:
Tidak ada gunanya lagi menjadikan keterbatasan catatan fosil seba-gai alasan. Entah bagaimana, catatan fosil menjadi berlimpah dan hampir tidak dapat dikelola, dan penemuan bermunculan lebih cepat dari pengin-tegrasian... Bagaimanapun, akan selalu ada kekosongan pada catatan fosil. 3

Kehidupan Muncul di Muka Bumi dengan
Tiba-Tiba dan dalam Bentuk Kompleks
Ketika lapisan bumi dan catatan fosil dipelajari, terlihat bahwa semua makhluk hidup muncul bersamaan. Lapisan bumi tertua tempat fosil-fosil makhluk hidup ditemukan adalah Kambrium, yang diperkirakan berusia 530-520 juta tahun.
Makhluk hidup yang ditemukan pada lapisan bumi periode Kam-brium muncul pada catatan fosil dengan tiba-tiba, tanpa nenek moyang yang hidup sebelumnya. Beragam makhluk hidup yang kompleks muncul begitu tiba-tiba, sehingga literatur geologi menyebut kejadian ajaib ini sebagai “Ledakan Kambrium” (Cambrian Explosion).
Sebagian besar bentuk kehidupan yang ditemukan dalam lapisan ini memiliki sistem kompleks seperti mata, atau sistem-sistem dalam organ-isme dengan organisasi yang sangat maju seperti insang, sistem pere-daran darah, dan seterusnya. Tidak ada tanda-tanda dalam catatan fosil yang menunjukkan bahwa organisme-orgnisme ini memiliki nenek moyang apa pun. Richard Monastersky, editor Earth Sciences, salah satu terbitan populer dalam literatur evolusionis, memberikan pernyataan mengenai kemunculan tiba-tiba dari spesies hidup:
Setengah milyar tahun lalu, binatang-binatang dengan bentuk-bentuk sa-ngat kompleks seperti yang kita lihat pada masa kini muncul secara tiba-tiba. Momen ini, tepat di awal Periode Kambrium Bumi sekitar 550 juta tahun lalu, menandai ledakan evolusioner yang mengisi lautan dengan makhluk-makhluk hidup kompleks pertama di dunia. Filum binatang besar masa kini ternyata telah ada di awal masa Kambrium. Binatang-binatang pertama itu pun berbeda satu sama lain sebagaimana binatang-binatang saat ini. 4
Karena tidak mampu menemukan jawaban atas pertanyaan bagai-mana bumi menjadi dipenuhi oleh ribuan spesies binatang yang berbeda, para evolusionis menambahkan periode 20 juta tahun imajiner sebelum Periode Kambrium untuk menjelaskan bagaimana kehidupan bermula dan “sesuatu yang tidak diketahui terjadi”. Periode ini disebut “jurang evolusioner”. Belum pernah ditemukan bukti tentang hal ini dan konsep tersebut masih tetap samar-samar dan tak terdefinisikan hingga kini.
Pada tahun 1984, sejumlah besar invertebrata yang kompleks digali di Chengjiang, tepatnya di dataran tinggi Yunan tengah di wilayah pegu-nungan Cina barat data. Di antaranya adalah trilobita, yang sekarang sudah punah, tetapi tak kurang kompleksnya dari struktur invertebrata modern mana pun.
Ahli paleontologi evolusionis dari Swedia, Stefan Bengston, menerangkan situasi ini sebagai berikut:
Jika ada peristiwa apa pun dalam sejarah kehidupan yang menyamai mitos penciptaan manusia, tentunya diversifikasi tiba-tiba dari kehidupan laut ketika organisme bersel banyak mengambil alih pe-ran utama dalam ekologi dan evolusi. Peristiwa yang membingungkan (dan memalukan) bagi Darwin ini masih memesona kami. 5
Kemunculan tiba-tiba dari makhluk-makhluk hidup yang kompleks yang tanpa pendahulu ini juga tidak kurang membingungkan (dan memalukan) bagi para evolusionis masa kini dibandingkan bagi Darwin 135 tahun yang lalu. Hampir satu setengah abad, mereka belum maju satu langkah pun dari titik yang telah menghadang Darwin.
Sebagaimana dapat dilihat, catatan fosil menunjukkan bahwa makh-luk hidup tidak berevolusi dari bentuk primitif ke bentuk yang lebih maju, namun justru muncul secara tiba-tiba dan dalam bentuk yang sempurna. Ketiadaan bentuk-bentuk transisi tidak hanya pada periode Kambrium. Tidak satu pun bentuk transisi yang diduga evolusionis sebagai “kemajuan” evolusioner dari vertebrata dari ikan ke amfibi, reptil, burung dan mamalia yang pernah ditemukan. Setiap spesies hidup muncul secara seketika dan daslam bentuknya yang sekarang, sempurna dan lengkap, pada catatan fosil.
Ringkasnya, makhluk hidup tidak muncul melalui evolusi, tetapi diciptakan.

PEMALSUAN FOSIL
Penipuan pada Gambar
Catatan fosil merupakan sumber utama bagi pencari bukti teori evolusi. Ketiak ditelaah secara teliti dan tanpa praduga, catatan fosil lebih menyanggah teori evolusi daripada mendukungnya. Namun begitu, interpetasi yang menyesatkan tentang fosil oleh para evolusionis dan presentasi mereka yang penuh prasangka kepada publik telah memberi kesan pada banyak orang bahwa catatan fosil mendukung teori evolusi.
Kerentanan beberapa temuan dalam catatan fosil terhadap semua jenis interpretasi ternyata sangat baik melayani keinginan para evolusionis. Fosil-fosil yang digali kebanyakannya tidak memuaskan bagi identifikasi yang dapat diandalkan. Mereka kebanyakan merupakan fragmen-fragmen tulang yang tidak lengkap dan terpencar-pencar. Kare-na ini, sangat mudah mendistorsi data yang tersedia dan menggunakan-nya sebagaimana diinginkan. Tidak mengejutkan, rekonstruksi (gambar dan model) yang dibuat oleh evolusionis dengan berdassarkan pada sisa-sisa fosil semacam itu disiapkan secara sepenuhnya spekulatif untuk men-dukung tesis evolusioner. Karena publik telah dipengaruhi sebelumnya dengan informasi-informasi visual, model-model konstruksi imajinier ini digunakan utnuk meyakinkan mereka bahwa makhluk-makhluk yang direkonstruksi benar-benar ada di masa silam.
Periset-periset evolusionis menggambarkan makhluk-makhluk ima-jiner yang menyerupai manusia, biasanya dari hanya sepotong gigi, frag-men rahang, atau tulang lengan atas, dan menampilkan mereka kepada publik secara sensasional seolah mereka terhubung dalam evolusi manusia. Gambar-gambar ini telah memainkan peranan penting dalam pengukuhan gambaran tentang “manusia primitif” dalam benak banyak orang.
Kajian-kajian yang didasarkan pada sisa-sisa tulang ini hanya dapat menampilkan karakteristik sangat umum dari 0bjek tersebut. Detail yang khusus terdapat pada jaringan lunak yang dengan cepat musnah bersama waktu. Dengan jaringan lunak yang diinterpretasikan secara spekulatif, segala sesuatu menjadi mungkin dalam batasan imajinasi pembuat rekon-struksi. Earnst A. Hooten dari Universitas Harvard menjelaskan situasi-nya seperti ini:
Usaha untuk menyusun kembali bagian-bagian lunak adalah pekerjaan yang lebih berisiko lagi. Bibir, mata, telinga dan ujung hidung tidak meninggalkan tanda apa pun pada tulang di bawahnya yang bisa menjadi petunjuk. Dengan kemudahan yang sama, dari sebuah tengkorak Neandertaloid, Anda dapat merekonstruksi muka simpanse atau roman aristokrat seorang filsuf. Nilai ilmiah restorasi hipotetis tipe-tipe manusia purba ini sedikit sekali, itu pun kalau ada, dan ini cenderung hanya menyesatkan masyarakat.... Jadi, janganlah Anda mempercayai rekonstruksi.6

Kajian-Kajian yang Dilakukan untuk
Menghasilkan Fosil-Fosil Palsu
Karena tidak mampu menemukan bukti yang sahih bagi teori evolusi dalam catatan fosil, beberapa evolusionis telah berspekulasi untuk mem-buatnya sendiri. Upaya-upaya ini , yang telah dimasukkan ke dalam ensi-klopedia di bawah judul “penipuan evolusi”, merupakan indikasi yang paling berbicara bahwa teori evolusi merupakan ideologi dan falsafah yang diperjuangkan sekuat-kuatnya oleh evolusionis. Selanjutnya, inilah dua dari berbagai penipuan tersebut, yang paling menghebohkan.


Manusia Piltdown
Charles Dawson, seorang dokter terkenal yang juga ahli paleoantro-pologi amatir, menyatakan bahwa ia telah menemukan tulang rahang dan fragmen tengkorak di dalam sebuah lubang di Piltdown, Inggris, pada tahun 1912. Tulang rahang tersebut lebih mirip tulang rahang kera, tetapi gigi dan tengkoraknya seperti milik manusia. Spesi-men ini dibabtis sebagai “Manusia Piltdown”. Fosil ini diduga berusia 500 ribu tahun, dan dipajang di beberapa museum sebagai bukti mutlak evolusi manusia. Selama lebih dari 40 tahun, telah banyak artikel ilmiah mengenai “Manusia Piltdown” ditulis, sejumlah penafsiran dan gambar dibuat, dan fosil tersebut dikemukakan sebagai bukti penting evolusi manusia.
Pada tahun 1949, para ilmuwan melakukan pengujian atas fosil ini sekali lagi dan menyimpulkan bahwa “fosil” tersebut merupakan penipuan yang disengaja yang terdiri dari tengkorak manusia dan rahang orang utan.
Dengan menggunakan metoda fluorin, para peneliti menemukan bahwa tengkorak tersebut hanya berusia beberapa ribu tahun. Gigi pada tulang rahang, yang berasal dari orang utan telah dibuat seolah usang, dan peralatan-peralatan “primitif” yang ditemukan bersama fosil hanya imitasi sederhana yang telah diasah dengan peralatan baja. Dalam analisis teperinci yang diselesaikan oleh Oaklely, Weiner dan Clark, mereka mengungkapkan pemalsuan ini kepada publik pada tahun 1953. Tengkorak tersebut milik manusia yang berusia 500 tahun, dan tulang rahangnya milik kera yang baru saja mati! Kemudian gigi-gigi disusun berderet dan ditambahkan pada rahangnya secara khusus, dan sendinya dirancang menyerupai sendi manusia. Lalu semua bagian diwarnai de-ngan potasium dikromat agar tampak tua. (Warna ini memudar ketika dicelup dalam larutan asam). Le Gros Clark, anggota tim yang mem-bongkar penipuan ini, tidak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya:
Bukti-bukti abrasi tiruan dengan segera tampak di depan mata. Hal ini begitu jelasnya hingga patut dipertanyakan bagaimana ini sampai lolos dari pengamatan sebelumnya?7

Manusia Nebraska
Pada tahun 1922, Henry Fairfield Osborn, direktur Museum Sejarah Alam Amerika, mengumumkan bahwa ia telah menemukan sebuah fosil gigi geraham yang berasal dari periode Pliosin, di Nebraska Barat, dekat Snake Brook. Gigi ini dinyatakan memiliki karakteristik gigi manusia dan gigi kera. Argumentasi ilmiah yang mendalam pun dimulai. Sebagian orang menafsirkan gigi ini berasal dari Pithecanthropus Erectus, sedang-kan yang lain menyatakan gigi tersebut lebih menyerupai gigi manusia. Fosil yang menimbulkan perdebatan sengit ini dinamakan “Manusia Nebraska”. Manusia baru ini juga dengan segera diberi “nama ilmiah”: Hesperopithecus Haroldcooki.
Banyak ahli yang memberikan dukungan kepada Osborn. Berdasar-kan satu gigi ini, rekonstruksi kepala dan tubuh Manusia Nebraska pun digambar. Lebih jauh, Manusia Nebraska bahkan dilukiskan bersama keluarganya.
Pada tahun 1927, bagian lain kerangkanya juga ditemukan. Menurut potongan-potongan tulang ini, gigi tersebut bukan milik manusia atau kera, melainkan milik spesies babi liar Amerika yang telah punah, bernama prosthennops.

Apakah Manusia dan Kera Berasal dari Nenek Moyang yang Sama?
Darwinis menyatakan bahwa manusia modern saat ini berevolusi dari makhluk serupa kera. Menurut mereka, selama proses evolusi yang diperkirakan berawal 4-5 juta tahun lalu, terdapat beberapa “bentuk transisi” antara manusia modern dan nenek moyangnya. Menurut ske-nario yang sepenuhnya rekaan ini, terdapat empat “kategori” dasar:
Evolusionis menyebut nenek moyang pertama manusia dan kera sebagai “Australopithecus”, yang berarti “Kera Afrika Selatan”. Austra-lopithecus hanyalah spesies kera kuno yang telah punah, dan memiliki beragam tipe. Sebagian berperawakan tegap, dan sebagian lain bertubuh kecil dan ramping.
Evolusionis menggolongkan tahapan evolusi manusia berikutnya sebagai “homo”, yang berarti “manusia”. Menurut pernyataan evolu-sionis, makhluk hidup dalam kelompok Homo lebih berkembang dari-pada Australopithecus, dan tidak terlalu berbeda dengan manusia mo-dern. Manusia modern di zaman kita, Homo sapiens, dikatakan terbentuk pada tahapan terakhir evolusi spesies ini.
Masalahnya, apa yang disebut sebagai Australopithecus dalam ske-nario khayalan yang dibuat oleh evolusionis sebenarnya adalah kera yang telah punah, dan apa yang digolongkan kepada seri Homo tersebut merupakan anggota dari beragam ras manusia yang hidup di masa lam-pau dan telah menghilang. Evolusionis menyusun beragam kera dan fo-sil manusia dalam urutan dari yang terkecil kepada yang terbesar untuk membentuk skema “evolusi manusia”. Riset, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa fosil-fosil ini sama sekali tidak mengarah kepada proses evolusioner dan beberapa dari yang dianggap sebagai nenek moyang manusia ini benar-benar kera dan sebagian lagi benar-benar manusia.
Sekarang, mari kita memperhatikan Australopithecus, yang bagi pa-ra evolusionis merupakan tingkat pertama dari skema evolusi manusia.

Australopithecus: Spesies Kera yang Telah Punah
para evolusionis menyatakan bahwa Australopithecus merupakan nenek moyang paling primitif dari manusia modern. Mereka merupakan spesies tua dengan struktur kepala dan tengkorak serupa dengan kera modern, walau kapasitas tempurung kepalanya lebih kecil. Menurut pernyataan evolusionis, makhluk-makhluk ini memiliki sifat sangat penting yang membuktikan bahwa mereka adalah nenek moyang manusia: bipedalisme.
Gerakan kera dan manusia sangat berbeda. Manusia adalah satu-sa-tunya makhluk hidup yang bergerak dengan bebas menggunakan kedua kakinya. Beberapa hewan juga memiliki kemampuan terbatas untuk ber-gerak seperti ini, tetapi mereka yang memiliki kerangka yang bungkuk.
Menurut evolusionis, makhluk-makhluk hidup yang disebut Austra-lopithecus ini memiliki kemampuan untuk berjalan membungkuk, tidak dengan postur tegak seperti manusia. Walau begitu, cara berjalan bipedal yang terbatas ini sudah cukup untuk membuat evolusionis untuk mem-proyeksikan bahwa makhluk ini merupakan nenek moyang manusia.
Bagaimanapun, bukti pertama yang menyanggah pernyataan tanpa bukti para evolusionis bahwa Australopithecus merupakan bipedal datang dari evolusionis sendiri. Kajian-kajian mendetail pada fosil-fosil Australopithecus memaksa evolusionis untuk mengakui bahwa mereka tampak “terlalu” mirip kera. Setelah melakukan riset anatomis terinci pada fosil-fosil Australopithecus pada pertengahan tahun 1970-an, Charles E. Oxnard mempersamakan struktur kerangka Australopithecus dengan milik orang utan modern.
“Sebuah bagian penting dari kebijaksanaan konvensional dewasa ini tentang evolusi manusia didasarkan pada kajian atas gigi, rahang dan fragmen-fragmen tengkorak fosil-fosil Australopithecus. Ini semua menunjukkan bahwa hubungan terdekat antara asutralopithecus dengan silsilah manusia mungkin tidak benar. Semua fosil ini berbeda dari gorila, simpanse dan manusia. Jika dikaji sebagai sebuah grup, Australopithecus lebih mirip dengan orang utan.” 8
Yang benar-benar memalukan evolusionis adalah temuan bahwa Australopithecus tidak mungkin berjalan dengan dua kaki dan dengan postur bungkuk. Hal ini secara fisik akan sangat tidak efisien bagi Aus-tralopithecus, yang dinyatakan sebagai bipedal tapi dengan cara berjalan membungkuk, untuk berjalan seperti itu karena akan membutuhkan energi yang sangat besar. Melalui simulasi komputer pada tahun 1996, ahli Paleoantropologi Inggris Robin Crompton juga menunjukkan bahwa cara berjalan “gabungan” seperti itu tidak mungkin. Crompton mencapai kesimpulan berikut: makhluk hidup dapat berjalan dengan salah satu dari dua cara: tegak atau dengan empat kaki. Bentuk cara berjalan di antara keduanya tidak dapat dilakukan untuk periode yang yanjang karena membutuhkan energi yang sangat besar. Ini berarti bahwa Australopithecus tidak mungkin sekaligus bipedal dan memiliki posisi berjalan membungkuk.
Barangkali kajian terpenting yang menunjukkan bahwa Australo-pithecus tidak mungkin bipedal adalah di tahun 1994 dari riset ahli ana-tomi Fred Spoor dan timnya di Departemen Anatomi Manusia dan Biolo-gi Seluler di Universitas Liverpool, Inggris. Grup ini melakukan kajian atas bipedalisme pada makhluk-makhluk hidup yang memfosil. Riset mereka menyelidiki mekanisme keseimbangan secara tak sengaja yang ditemukan dalam rumah siput pada telinga, dan temuan menunjukkan secara meyakinkan bahwa Australopithecus tidak mungkin bipedal. Ini membantah klaim bahwa Australopithecus menyerupai manusia.

Seri Homo : Benar-Benar Manusia
Langkah selanjutnya dalam evolusi manusia rekaan adalah “Homo”, yaitu seri manusia. Makhluk-makhluk hidup ini adalah manusia yang tidak bebeda dari manusia modern, tetapi memiliki beberapa perbedaan rasial. Karena berusaha untuk membesar-besarkan perbedaan-perbedaan ini, evolusionis menampilkan orang-orang ini tidak sebagai suatu “ras” manusia modern, tetapi sebagai suatu “spesies” yang berbeda. Bagaima-napun, sebagaimana kita akan segera lihat, orang-orang pada seri Homo tidak lebih dari tipe ras manusia biasa.
Menurut skema rekaan evolusionis, evolusi internal spesies Homo adalah sebagai berikut: pertama Homo erectus, kemudian Homo sapiens purba dan Manusia Neandertal, lalu Manusia Cro-Magnon dan terakhir manusia modern.
Walau klaim evolusionis bertolak belakang, semua “spesies” yang telah kita sebutkan di atas tidak lain dari manusia murni. mari kita pertama menguji Homo Erectus, yang dirujuk evolusionis sebagai spesies manusia yang paling primitif.
Bukti paling mengejutkan yang menunjukkan bahwa Homo erectus bukanlah spesies “primitif” adalah fosil “Anak Lelaki Turkana”, salah satu sisa Homo erectus tertua. Fosil tersebut diperkirakan milik seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, yang mungkin akan mencapai tinggi dewasa 1,83 meter. Struktur kerangka yang tegak dari fosil tidak berbeda dengan manusia modern. Struktur kerangkanya yang tinggi dan langsing sepenuhnya menyerupai milik orang-orang yang tinggal di wilayah tro-pis pada zaman kita. Fosil ini merupakan salah satu dari bukti paling penting bahwa Homo Erectus tidak lebih dari spesimen lain dari ras ma-nusia modern. Ahli paleontologi evolusionis Richard Leakey memban-dingkan antara Homo erectus dan manusia sebagai berikut:
Perbedaan bentuk tengkorak, tingkat tonjolan wajah, kekokohan dahi dan sebagainya akan terlihat. Perbedaan-perbedaan ini mungkin seperti yang kita saksikan saat ini pada ras-ras manusia modern yang terpisah secara geografis. Variasi biologis semacam ini muncul ketika populasi-populasi saling terpisah secara geografis untuk kurun waktu yang lama.9
Hal yang ingin disampaikan oleh Leakey adalah bahwa perbedaan antara Homo erectus dan kita tidak lebih dari perbedaan antara Negro dan Eskimo. Bentuk tempurung kepala Homo erectus berasal dari cara makan mereka, dan emigrasi genetis dan dari tidak berasimilasinya me-reka dengan ras-ras manusia lainnya selama periode yang panjang.
Bukti kuat lainnya bahwa Homo erectus bukan spesies “primitif” adalah bahwa fosil dari spesies ini yang digali berumur 27.000 tahun dan malahan 13.000 tahun. Menurut artikel yang dimuat dalam Time - yang bukanlah terbitan periodis ilmiah, namun bagaimanapun memiliki efek mempengaruhi duania ilmu pengetahuan - fosil Homo erectus berusia 27.000 tahun ditemukan di pulau Jawa. Di rawa Kow di Australia, bebera-pa fosil berusia 13.000 tahun ditemukan dengan membawa karakteristik Homo Sapiens-Homo erectus. Semua fosil ini menunjukkan bahwa Homo erectus terus hidup hingga ke masa yang sangat dekat dengan zaman kita dan mereka tak lebih dari ras manusia yang sejak itu telah terkubur dalam sejarah.

Homo Sapienns Purba dan Manusia Neandertal
Homo sapiens purba adalah pelopor dari manusia kontemporer da-lam skema evolusioner rekaan. Nyatanya, evolusionis tidak berbicara banyak tentang manusia-manusia ini, seakan hanya terdapat perbedaan-perbedaan minor di antara mereka dan manusia modern. Beberapa peri-set malah menyatakan bahwa perwakilan dari ras ini masih hidup hari ini, dan menunjuk suku Aborigin di Australia sebagai contoh. Seperti Homo sapiens, Aborigin juga memiliki alis mata yanag tebal dan menonjol, struktur mandibular yang cenderung ke dalam, dan volume tempurung kepala yang sedikit lebih kecil. Lebih jauh lagi, penemuan-penemuan yang berarti telah didapat, mengisyaratkan bahwa manusia semacam itu pernah hidup di Hungaria dan beberapa desa di Italia sampai beberapa waktu yang lalu.
Evolusionis menunjuk fosil manusia yang digali di lembah Neander di Belanda yang telah dinamai Manusia Neandertal sebagai suatu sub spesies dari manusia modern dan menamakannya “Homo sapiens nean-dertalensis”. Jelas bahwa ras ini hidup bersama dengan manusia modern, pada waktu dan area yang sama. Temuan-temuan membuktikan bahwa Neandertal mengubur mayat kerabat mereka, membuat alat musik dan memiliki hubungan kebudayaan dengan Homo sapiens sapiens yang hi-dup seperiode. Struktur tengkorak dan kerangka yang sepenuhnya mo-dern dari fosil-fosil Neandertal tidak terbuka atas spekulasi apa pun. Seorang pakar dalam subjek ini, Erik Trinkaus dari Universitas New Mexico menulis:
Perbandingan anatomis terperinci antara sisa-sisa kerangka Neandertal dengan kerangka manusia modern tidak menunjukkan dengan pasti bahwa kemampuan lokomotif, manipulatif, intelektual atau bahasa Neandertal lebih rendah dari manusia modern.10
Nyatanya, Neandertal malah memiliki beberapa kelebihan “evolusi-oner” dibanding manusia modern. Kapasitas tempurung kepala Nender-tal lebih besar dari manusia modern dan mereka lebih kekar dan berotot dibandingkan kita. Trinkaus menambahkan: “Salah satu keistimewaan Neandertal yang paling karakteristik adalah kemasifan yang luar biasa dari tulang-tulang batang tubuh dan anggota badannya. Semua tulang yang terawetkan menunjukkan kekuatan yang jarang dimiliki manusia modern. Lebih jauh lagi, tidak hanya kekekaran ini tampak pada lelaki dewasa, seperti yang diperkirakan orang, tetapi juga muncul pada wanita dewasa, remaja bahkan anak-anak.”
Persisnya, Neandertal merupakan suatu ras manusia khusus yang terasimilasi dengan ras-ras lain dengan perjalanan waktu.

Dapatkah Kehidupan Muncul dari
Kebetulan Sebagaimana Dinyatakan Evolusi?
Teori evolusi menyatakan bahwa kehidupan berawal dari sebuah sel yang terbentuk secara kebetulan di bawah kondisi-kondisi bumi primitif. Karenanya, mari kita menguji komposisi sel dengan perbandingan seder-hana untuk menunjukkan betapa irasionalnya untuk menganggap keber-adaan sel struktur yang masih merupakan misteri dalam banyak hal, bah-kan pada waktu kita hendak menginjak abad ke 21 berasal dari fenomena alam dan kebetulan.
Dengan semua sistem operasionalnya, sistem komunikasi, trans-portasi dan manajemen, sebuah sel tidak kurang rumitnya dari sebuah kota. Sel memiliki stasiun pembangkit yang menghasilkan energi untuk dikonsumsi sel, pabrik-pabrik pembuat enzim dan hormon-hormon yang penting bagi kehidupan, bank data yang mencatat semua informasi penting tentang seluruh produk yang harus dihasilkan, sistem trans-portasi yang kompleks dan pipa-pipa penyalur bahan mentah dan bahan jadi dari satu tempat ke tempat lain, laboratorium dan tempat penyu-lingan canggih untuk menghancurkan bahan mentah dari luar menjadi bahan-bahan berguna, dan protein membran sel khusus untuk mengon-trol keluar-masuknya materi. Dan semua ini hanya sebagian kecil dari sistem yang sangat kompleks tersebut.
Jauh dari kemungkinan terbetuk di bawah kondisi-kondisi bumi primitif, sel, yang komposisi dan mekanismenya begitu kompleks, tidak dapat dibuat walaupun di dalam laboratorium tercanggih di masa kini. Bahkan dengan menggunakan asam-asam amino, bahan pembangun sel, tidak mungkin untuk menghasilkan walau hanya sebuah organel tunggal sebuah sel, seperti mitokondria atau ribosom, apalagi keseluruhan sel. Sel pertama yang diklaim telah diproduksi oleh kebetulan evolusioner tak lebih dari isapan jempol dan hasil dari dongengan sebagaimana kuda unicorn.

Protein Menggugat Teori Kebetulan
Bukan hanya sel yang tak dapat diproduksi: satu saja protein dari ribuan molekul protein kompleks pembangun sel, tidak mungkin terbentuk dalam kondisi alamiah.
Protein adalah molekul raksasa yang terdiri dari satuan-satuan kecil yang disebut “asam amino” yang tersusun dalam urutan tertentu, dengan jumlah dan struktur tertentu. Molekul-molekul ini merupakan bahan pembangun sel hidup. Protein yang paling sederhana terdiri dari 50 asam amino, tetapi ada beberapa protein yang terdiri dari ribuan asam amino. Ketidakhadiran, penambahan atau penggantian satu saja asam amino pada sebuah struktur protein dapat menyebabkan protein tersebut menja-di gumpalan molekul tak berguna. Karena tidak mampu menjelaskan “pembentukan secara kebetulan” dari asam amino, teori evolusi terpero-sok pada titik pembentukan protein.
Fakta bahwa struktur fungsi-onal sebuah protein tidak dapat muncul secara kebetulan akan mu-dah diamati dengan perhitungan probabilitas sederhana yang dapat dipahami semua orang.
Terdapat 20 asam amino yang berbeda. Jika kita anggap bahwa sebuah molekul protein berukuran rata-rata dibangun oleh 288 asam amino, akan terdapat 10300 kombinasi asam. Dari seluruh kemungkinan, hanya satu urutan yang membentuk molekul protein yang diinginkan. Sisanya adalah rantai asam amino yang sama sekali tidak berguna atau berpotensi membahayakan makhluk hidup. Dengan kata lain, probabilitas pembentukan satu molekul protein adalah “1 banding 10300”. Probabilitas dari “1” berbanding dengan angka “astronomis” yang terdiri dari angka 1 diikuti 300 nol untuk semua tujuan praktis adalah nol. Ini adalah hal yang mustahil. Selain itu, molekul protein dengan 288 asam amino lebih sederhana dibandingkan molekul-molekul protein raksasa yang terdiri dari ribuan asam amino. Bila kita melakukan perhitungan probabilitas serupa pada molekul-molekul protein raksasa tersebut, kita akan membutuhkan ungkapan yang lebih dari sekadar "mustahil".
Jika pembentukan secara kebetulan dari salah satu protein ini saja tidak mungkin, milyaran kali lebih tidak mungkin untuk sekitar satu juta protein-protein itu muncul secara kebetualn dalam bentuk yang teror-ganisir dan membuat sebuah sel manusia yang komplit. Lebih jauh lagi, sebuah sel bukan hanya sekumpulan protein. Di samping ptotein, sel juga mengandung asam nukleat, karbohidrat, lemak, vitamin, dan banyak lagi bahan kimia seperti elektrolit, yang semuanya tersusun secara harmonis dan dalam rancangan dengan proporsi yang tertentu, baik dalam struktur, maupun fungsi. Masing-masing berfungsi sebagai bahan atau komponen pembangun dalam beragam organel.
Sebagaimana telah kita lihat, evolusi tidak mampu menjelaskan pem-bentukan bahkan satu saja dari milyaran protein dalam sel, jangankan menjelaskan sel itu sendiri.
Prof. Dr. Ali Demirsoy, salah satu pakar terkemuka tentang pemi-kiran evolusionis di Turki, dalam bukunya Kalitim ve Evrim (Pewarisan Sifat dan Evolusi), membicarakan kemungkinan pembentukan secara kebetulan Sitokrom-C. salah satu enzim penting bagi kehidupan:
Probabilitas pembentukan rangkaian sitokrom-C mendekati nol. Jadi, jika kehidupan memerlukan sebuah rangkaian tertentu, maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki probabilitas untuk terwujud hanya satu kali di seluruh alam semesta. Jika tidak, kekuatan-kekuatan metafisis di luar definisi kita mestilah telah berperan dalam pembentukan tersebut. Menerima pernyataan terakhir ini tidak sesuai dengan tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, karenanya kita harus mengkaji hipotesis pertama. 11
Setelah baris di atas, Demirsoy mengakui bahwa probabilitas ini, yang ia terima hanya karena “lebih patut bagi tujuan ilmu pengetahuan”, tidak masuk akal:
Probabilitas menghasilkan rangkaian asam amino tertentu dari sitokrom-C adalah seperti kemungkinan seekor monyet menulis sejarah manusia dengan mesin tik dengan mengabaikan kenyataan bahwa kera itu menekan tuts-tuts secara acak.12
Rangkaian yang benar dari asam-asam amino yang tepat saja tidak cukup bagi pembentukan salah satu molekul protein yang terdapat dalam makhluk hidup. Di samping ini, masing-masing dari 20 tipe asam amino yang berbeda yang terdapat dalam komposisi protein harus merupakan asam amino Levo. Secara kimiawi, terdapat dua jenis yang berbeda, yaitu “levo” (kiri) dan “dextro” (kanan). Perbedaan di antara keduanya adalah simetri cermin antara struktur tiga dimensi mereka, yang serupa dengan simetri tangan kiri dan kanan manusia. Asam-asam amino dari kedua jenis ini ditemukan dalam jumlah yang sama di alam dan mereka dapat saling berikatan degnan sempurna. Namun,penelitian mengungkapkan sebuah fakta yagn mengejutkan: semua protein hewan dan tumbuhan, dari organisme paling sederhana hingga paling kompleks, terdiri dari asam amino Levo. Jika ada satu saja asam amino Dextro yang terikat pada struktur sebuah protein, maka protein tersebut menjadi tidak berfungsi.
Mari sesaat kita umpamakan bahwa kehidupan muncul secara kebe-tulan seperti yang dinyatakan evolusionis. Dalam hal ini, asam amino Levo dan asam amino Dextro yang terbentuk secara kebetulan seharus-nya ada dalam jumlah seimbang di alam. Pertanyaan tentang bagaimana protein dapat memilih asam amino Levo dari seluruh asam amino, dan mengapa tidak ada satu pun asam amino Dextro terlibat dalam proses kehidupan, masih menjadi tantangan bagi evolusionis. Dalam Britannica Science Encyclopaedia, pembela teori evolusi yang terang-terangan, dinya-takan bahwa asam amino seluruh makhluk hidup di bumi dan molekul pembangun polimer kompleks seperti protein memiliki asimetri Levo yang sama. Ditambahkan bahwa ini sama artinya dengan melempar uang logam sejuta kali dan selalu mendapatkan muka yang sama. Dinyatakan juga bahwa tidak mungkin kita dapat memahami mengapa molekul menjadi bentuk Levo atau Dextro. Pilihan ini berhubungan dengan sumber kehidupan di bumi secara mengagumkan.13
Asam amino tidak cukup hanya dengan tersusun dalam jumlah, urutan dan struktur tiga dimensi yang tepat. Pembentukan protein juga mengharuskan molekul-molekul asam amino yang memiliki lebih dari satu lengan saling berikatan melalui cabang tertentu saja. Ikatan seperti itu disebut “ikatan peptida”. Asam-asam amino dapat saling berikatan dengan berbagai cara; tetapi protein hanya terdiri dari asam-asam amino yang terikat dengan ikatan “peptida”.
Penelitian menunjukkan bahwa asam amino yang berikatan secara acak hanya dapat menghasilkan ikatan peptida pada rasio 50% dan sisa-nya berikatan dengan ikatan lain yang tidak terdapat pada protein. Agar berfungsi dengan baik, setiap asam amino yang menyusun protein harus berikatan hanya dengan ikatan peptida, sebagaimana asam amino tersebut harus dipilih dari yang berbentuk Levo saja. Tak diragukan lagi, tidak ada mekanisme kontrol untuk memilih dan mengeluarkan asam amino Dextro dan secara pribadi memastikan bahwa masing-masing asam amino membuat ikatan peptida dengan yang lain.
Di bawah keadaan ini, probabilitas dari molekul protein rata-rata yang mengandung 500 asam amino menyusun diri sendiri dalam jumlah dan rangkaian yang tepat, sebagai tambahan atas probabilitas dari semua asam amino yang dikandungnya adalah hanya yang levo dan bergabung menggunakan hanya ikatan-ikatan peptida adalah sebagai berikut:
-             Probabilitas 500 asam amino tersebut terpilih dengan tepat
   = 1/20500 = 1/10650
-             Probabilitas asam amino berbentuk = 1/2500 = 1/10150
-             Probabilitas asam-asam amino bergabung dengan ikatan peptida        = 1/2499 = 1/10150
PROBABILITAS TOTAL = 1/10950 , yaitu 1 peluang dalam 10950
Seperti dapat dilihat di bawah ini, probabilitas pembentukan sebuah molekul protein yang terdiri dari 500 asam amino adalah “1” banding angka 1 yang diikuti oleh 950 buah angka nol. Sebuah angka yang tidak dapat dipahami pemikiran manusia. Ini hanya perhitungan teoretis di atas kertas. Dalam kenyataan, probabilitas seperti itu berpeluang “0” untuk terjadi. Dalam matematika, probabilitas yang lebih kecil dari 1 ban-ding 1050, secara statistik dianggap memiliki peluang “0” untuk terjadi.
Meskipun sudah sedemikian jauh kemustahilan pembentukan secara kebetulan pada sebuah protein yang tersusun dari 500 asam amino, kita masih dapat terus memaksa batas akal kita dengan kemustahilan yang lebih tinggi lagi. Molekul “hemoglobin”, sebuah protein yang sangat vital, terdiri dari 574 asam amino lebih besar dibandingkan protein yang kita bahas di atas. Sekarang, pikirkan ini: dalam satu sel darah merah dari miliaran yang ada dalam tubuh kita, terdapat “280.000.000” (280 juta) molekul hemoglobin! Perkiraan usia bumi tidak memberi cukup waktu bagi pembentukan secara “coba-coba” untuk satu protein saja, apalagi satu sel darah merah. Kesimpulan dari semua ini adalah: evolusi telah jatuh ke dalam jurang kemustahilan sejak tahap pembentukan sebuah protein.

Mencari Jawaban dari Pembangkitan Kehidupan
Karena menyadari keganjilan atas kemungkinan pembentukan kehidupan melalui kebetulan, evolusionis tidak mampu menyediakan penjelasan yang masuk akal untuk keyakinan mereka, maka mereka mulai mencari jalan untuk menunjukkan bahwa keganjilan tersebut bukannya tidak mungkin.
Mereka merancang berbagai eksperimen laboratorium untuk menja-wab pertanyaan bagaimana kehidupan dapat mengawali dirinya sendiri dari materi tidak hidup. Di antaranya yang paling terkenal dan dihormati adalah “Eksperimen Miller” atau “Eksperimen Urey-Miller” yang dilaku-kan oleh peneliti Amerika bernama Stanley Miller pada tahun 1953.
Dengan tujuan untuk membuktikan bahwa asam-asam amino dapat muncul secara kebetulan. Miller membuat lingkungan dalam laborato-riumnya yang dia asumsikan terdapat di bumi purba (yang kelak terbukti tidak realistis) dan mulai bekerja. Campuran yang ia gunakan untuk atmosfir purba ini terdiri dari amonia, metan, hidrogen dan uap air.
Miller mengetahui bahwa metan, amonia, uap air dan hidrogen tidak akan saling bereaksi. Ia sadar bahwa ia harus menyuntikkan energi ke dalam campuran untuk memulai reaksi. Dia menganggap energi ini bisa berasal dari kilat dalam atmosfir purba, dan dengan berdasarkan perkir-aan ini, ia menggunakan sumber penghasil listrik buatan dalam ekspe-rimennya.
Miller mendidihkan campuran gas ini pada suhu 100°C selama se-minggu, dan sebagai tambahan dia mengalirkan arus listrik. Di akhir minggu, Miller menganalisis senyawa-senyawa kimia yang terbentuk di dasar gelas percobaan dan menemukan tiga dari 20 jenis asam amino, bahan dasar protein telah tersintesis.
Eksperimen ini membangkitkan semangat evolusionis dan dianggap sebagai sukses besar. Didorong oleh eksperimen ini, evolusionis segera membuat skenario baru. Miller dianggap telah membuktikan bahwa asam-asam amino dapat terbentuk dengan sendirinya. Berdasarkan ini, mereka segera membuat hipotesis tahap selanjutnya. Menurut skenario mereka, asam-asam amino kemudian bergabung dalam urutan yang tepat secara kebetulan untuk membentuk protein. Sebagian protein-protein yang terbentuk secara kebetulan ini menempatkan diri mereka dalam struktur seperti membran yang “entah bagaimana” muncul dan membentuk sel primitif. Sel-sel kemudian bergabung dan membentuk organisme hidup. Arus utama terbesar dari skenario ini adalah eksperi-men Miller.
Akan tetapi, eksperimen Miller hanya akal-akalan dan telah terbukti tidak benar dalam segala aspek.

Ketidakabsahan Eksperimen Miller
Hampir setengah abadberlalu semenjak Miller melakukan ekspe-rimennya. Walaupun telah ditunjukkan ketidakabsahannya dalam banyak segi, evolusionis masih mengemukakan Miller dan hasil-hasilnya sebagai bukti absolut bahwa kehidupan dapat terbentuk secara spontan dari materi tidak hidup. Jika kita menilai eksperimen Miller secara kritis, tanpa bias dan subjektivitas pemikiran evolusionis, bagaimanapun, nyata bahwa keadaannya tidak secerah yang digambarkan para evolusionis. Miller menentukan untuk dirinya sendiri tujuan untuk membuktikan bahwa asam-asam amino dapat membentuk diri sendiri dalam kondisi bumi purba. Beberapa asam-asam amino dihasilkan, namun pelaksanaan eksperimen ini bertentangan dengan degnan tujuannya dalam banyak cara, seperti kita akan lihat sekarang.
l Miller mengisolasi asam-asam amino dari lingkungannya segera setelah mereka terbentuk, dengan menggunakan mekanisme yang dise-but cold trap. Jika dia tidak melakukannya, kondisi lingkungan tempat asam amino terbentuk akan segera menghancurkan molekul ini.
Tentu saja tak ada artinya untuk menganggap bahwa mekanisme yang disengaja seperti ini integral dengan kondisi bumi purba, yang melibatkan radiasi ultraviolet, sambaran kilat, beragam zat kimia, dan oksigen bebas dalam prosentase tinggi. Tanpa mekanisme seperti ini, kalaupun ada satu asam amino terbentuk, ia akan segera hancur.
l Lingkungan atmosfir purba yang disimulasikan Miller dalam eksperimennya tidak realistis. Nitrogen dan karbon dioksida merupakan bagian dari lingkungan atmosfir purba, tapi Miller mengabaikan ini dan malah menggunakan metan dan amonia.
Mengapa? Mengapa para evolusionis berkeras pada poin bahwa atmosfir primitif mengandung metan (CH4), amonia (NH3), dan uap air (H2O) dalam jumlah besar? Jawabannya sederhana: tanpa amonia, mus-tahil mensintesis asam amino. Kevin McKean mengungkapkan hal ini dalam sebuah artikel yang dimuat dalam majalah Discover:
Miller dan Urey meniru atmosfir bumi dahulu kala dengan campuran metan dan amonia. Menurut mereka, bumi merupakan campuran homogen dari logam, batuan dan es. Namun, dalam penelitian terakhir terungkap bahwa pada saat itu bumi sangat panas dan terbentuk dari nikel dan besi cair. Jadi, atmosfir kimiawi saat itu seharusnya didominasi nitrogen (N2), karbon dioksida (CO2) dan uap air (H20). Tetapi gas-gas ini bukan gas-gas yang tepat untuk mensintesis se-nyawa organik, seperti metan dan amonia.14
Setelah bungkam cukup lama, Miller sendiri mengakui pula bahwa kondisi atmosfir dalam eksperimennya tidak realistis.
l Hal penting lain yang mengugurkan eksperimen Miller adalah bahwa atmosfir bumi mengandung cukup banyak oksigen untuk menghancurkan semua asam amino yang terbentuk. Konsentrasi oksigen ini akan menghalangi pembentukan asam-asam amino. Situasi ini secara telak membantah eksperimen Miller yang sama sekali mengabaikan oksi-gen. Jika oksigen digunakan dalam eksperimen tersebut, metan akan terurai menjadi karbon dioksida dan air, dan amonia menjadi nitrogen dan air. Selain itu, dalam lingkungan tanpa oksigen, juga tidak akan ada lapisan ozon. Tanpa perlindungan lapisan ozon, asam-asam amino akan segera hancur oleh sinar ultraviolet yang sangat intens.
l Di samping menghasilkan beberapa asam-asam amino yang penting untuk kehidupan, eksperimen Miller juga menghasilkan banyak asam organik yang bersifat merusak struktur dan fungsi makhluk hidup. Jika ia tidak mengisolasi asam-asam amino tersebut dan membiarkannya dalam lingkungan yang sama dengan senyawa-senyawa ini, reaksi kimia yang terjadi akan menghancurkan atau mengubah asam amino menjadi senyawa lain. Selain itu, di akhir eksperimen ini terbentuk sejumlah besar asam amino Dextro.16 Keberadaan asam amino ini dengan sendirinya menyangkal teori evolusi, karena asam amino Dextro tidak berfungsi dalam pembentukan sel makhluk hidup dan jika dilibatkan dalam pembentukan protein akan membuat protein menjadi tidak berguna .
Kesimpulannya, kondisi-kondisi di mana asam amino terbentuk da-lam eksperimen Miller, tidak cocok bagi kehidupan. Medium pembentuk-annya merupakan campuran asam yang menghancurkan dan mengoksi-dasi molekul-molekul berguna yang diperoleh.
Nyatanya, evolusionis sendiri menyangkal teori evolusi, sebagai-mana biasa terjadi, dengan mengajukan eksperimen ini sebagai “bukti”. Jika ada yang dibuktikan eksperimen ini, adalah bahwa asam-asam amino hanya dapat dihasilkan dalam lingkungan laboratorium terkendali di mana semua kondisi dirancang khusus oleh intervensi yang disengaja. Berarti, kekuatan yang dapat menghasilkan kehidupan (bahkan sekadar asam-asam amino yang “hampir hidup”) sudah pasti bukan peristiwa kebetulan, tetapi kehendak yang disengaja dengan kata lain, Penciptaan. Karena itulah setiap tahap Penciptaan merupakan tanda yang membuktikan kepada kita keberadaan dan kekuasaan Allah SWT.
Molekul Menakjubkan: DNA
Teori evolusi tidak dapat memberikan penjelasan logis atas keber-adaan molekul-molekul dasar struktur sel, perkembangan di bidang ge-netika dan penemuan asam nukleat (DNA dan RNA) telah menghasilkan masalah baru bagi teori evolusi.
Pada tahun 1955, penelitian James Watson dan Francis Crick terha-dap DNA membawa era baru dalam biologi. Banyak ilmuwan meng-alihkan perhatian mereka pada ilmu genetika. Sekarang, setelah pene-litian bertahun-tahun, para ilmuwan telah memetakan hampir semua struktur DNA.
Di sini, kita perlu memberikan beberapa informasi paling mendasar tentang struktur dan fungsi DNA.
Molekul yang disebut DNA, yang ditemukan dalam nukleus pada setiap sel dari 100 trilyun sel di dalam tubuh kita, mengandung rancang bangun lengkap untuk tubuh manusia. Informasi mengenai seluruh ciri-ciri seseorang, dari penampilan fisik hingga struktur organ dalam, tercatat dalam DNA dengan sistem pengkodean khusus. Informasi dalam DNA dikode dalam urutan empat basa khusus yang membangun molekul ini. Basa ini dinamakan A, T, G, C sesuai dengan huruf awal nama mereka. Seluruh perbedaan struktural antara manusia tergantung pada variasi urutan huruf-huruf ini: semacam bank data yang terdiri dari empat huruf. Semua perbedaan strurtural di antara manusia tergantung pada variasi urutan basa-basa ini. Terdapat kurang lebih 3,5 miliar nukleotida, artinya, 3,5 miliar hurus dalam molekul DNA.
Informasi yang sangat banyak ini dikode dalam komponen DNA yang disebut “gen”. Misalnya, informasi tentang mata terdapat pada rangkaian gen khusus, sedangkan informasi tentang jantung terdapat da-lam rangkaian gen yang lain. Sel menghasilkan protein dengan menggu-nakan informasi dalam semua gen ini. Asam-asam amino yang memba-ngun struktur protein ditentukan oleh susunan berurutan dari tiga nukleotida dalam DNA.
Sampai di sini ada detail penting yang harus diperhatikan. Kesalahan pada urutan nukleotida yang menyusun sebuah gen akan membuat gen tersebut sama sekali tidak ber-fungsi. Dengan mempertimbangkan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat 200 ribu gen, akan semakin jelas betapa mustahilnya jutaan nukleotida yang membentuk gen-gen ini tersusun secara kebetulan dalam urutan yang tepat. Seorang ahli biologi evolusionis, Frank Salisbury, berkomentar tentang kemustahilan ini:
Sebuah protein berukuran sedang dapat terdiri dari sekitar 300 asam amino. Gen DNA yang mengatur protein ini bisa memiliki 1.000 nukleotida pada rantainya. Karena ada empat jenis nukleotida dalam sebuah rantai DNA, sa-tu rantai dengan 1.000 nukleotida dapat tersusun dalam 41000 bentuk. Dengan menggunakan sedikit ilmu aljabar (logaritma), kita dapat melihat bahwa 41000 = 10600. Sepuluh dikali sepuluh sebanyak 600 kali menghasilkan angka 1 yang diikuti 600 angka nol! Suatu angka di luar kemampuan pemahaman kita.15
Angka 41000 ekivalen dengan 10600. Angka ini didapatkan dengan menambahkan 600 angka nol sesudah angka 1. Angka 10 yang diikuti 11 angka nol berarti satu triliun. Tetapi sebuah angka dengan 600 angka nol sesudahnya, sulit kita bayangkan.
Seorang evolusionis, Prof. Ali Demirsoy, terpaksa membuat peng-akuan mengenai hal ini sebagai berikut :
Kenyataannya, probabilitas pembentukan protein dan asam nukleat (DNA-RNA) adalah probabilitas yang jauh melampaui perkiraan. Lebih jauh, peluang rantai protein tertentu muncul menjadi luar biasa kecil.16
Sebagai tambahan atas ketidakmungkinan ini, DNA hampir tidak bisa terlibat dalam reaksi karena bentuk spiral berantai gandanya. Ini juga membuat tidak mungkin menganggap bahwa DNA merupakan dasar kehidupan.
Lebih jauh lagi, sementara DNA hanya dapat bereplikasi dengan bantuan beberapa enzim yang merupakan protein pula, sintesis enzim ini hanya dapat berlangsung dengan informasi yang dikode dalam DNA. Karena saling membutuhkan, keduanya harus ada secara bersamaan untuk replikasi, atau salah satunya “tercipta” sebelum yang lain. Seorang ahli mikrobiologi Amerika, Jacobson, berkomentar mengenai hal ini:
Arahan untuk rencana-rencana reproduksi untuk energi dan ekstraksi ma-teri dari lingkungannya, untuk urutan pertumbuhan, dan untuk mekanisme efektor yang menerjemahkan perintah ke dalam pertumbuhan semua harus ada sekaligus pada saat itu (ketika kehidupan dimulai). Kombinasi semua ini sepertinya tidak mungkin terjadi secara kebetulan, dan sering dianggap campur tangan ilahiah.17
Kutipan di atas ditulis dua tahun sesudah struktur DNA diungkap-kan James Watson dan Francis Crick. Meskipun ilmu pengetahuan telah maju cukup pesat, pertanyaan tersebut tetap belum terjawab oleh evolusionis. Untuk menyimpulkan, perlunya DNA dalam reproduksi, dan kebutuhan untuk memproduksi protein-protein ini sesuai dengan informasi dalam DNA secara keseluruhan menghancurkan tesis para evolusionis.
Dua ilmuwan Jerman, Junker dan Scherer, menjelaskan bahwa sin-tesis masing-masing molekul yang diperlukan untuk evolusi kimiawi, mengharuskan kondisi-kondisi tertentu, dan bahwa probabilitas bahan-bahan tersebut tersusun melalui metode yang secara teoretis sangat berbeda adalah nol:
Sampai saat ini, tidak ada eksperimen yang dapat menghasilkan seluruh mo-lekul yang dibutuhkan untuk evolusi kimiawi. Karenanya, berbagai molekul ini harus dihasilkan di tempat-tempat berbeda pada kondisi sangat sesuai, kemudian dibawa ke tempat lain untuk bereaksi dengan melindunginya dari elemen-elemen berbahaya seperti hidrolisis dan fotolisis.18
Pendeknya, teori evolusi tidak dapat membuktikan satu tahap evolusi pun yang diduga terjadi pada tingkat molekuler.
Untuk meringkaskan apa yang telah kita bicarakan sejauh ini, baik asam-asam amino atau produknya, maupun protein yang menyusun sel-sel makhluk hidup, dapat diproduksi dalam apa yang disebut lingkungan “atmosfir primitif”. Lebih jauh lagi, faktor-faktor seperti struktur protein yang sangat kompleks, sifat Levo dan Dextro, dan kesulitan dalam pembentukan ikatan peptida hanyalah bagian dari alasan mengapa mereka tidak akan dapat diproduksi dalam eksperimen-eksperiman apa pun di masa yang akan datang.
Bahkan jika kita anggap sementara bahwa protein entah bagaimana memang terbentuk secara kebetulan, hal ini tetap tidak memiliki arti apa-apa, karena protein bukan apa-apa jika berdiri sendiri: mereka tidak dapat bereproduksi sendiri. Sintesis protein hanya mungkin dengan informasi yang dikodekan dalam molekul-molekul DNA dan RNA. Tanpa DNA dan RNA, protein tidak mungkin bereproduksi. Urantan spesifik dari 20 asam amino yang berbeda yang terkode pada DNA menentukan struktur dari masing-masing protein dalam tubuh. Bagaimanapun, sebagaimana telah sangat jelas bagi semua yang telah mengkaji molekul-molekul ini, tidak mungkin DNA dan RAN terbentuk secara kebetulan.

Fakta Penciptaan
Dengan runtuhnya teori evolusi dalam setiap bidang, nama-nama terkemuka dalam disiplin mikrobiologi hari ini mengakui fakta penciptaan dan mulai mempertahankan pandangan bahwa segala seuatu diciptakan oleh Pencipta yang sadar sebagai bagian dari penciptaan yang agung. Hal ini telah menjadi fakta yang tidak dapat diabaikan. Ilmuwan yang dapat mendekati karya mereka dengan pikiran terbuka telah mengembangkan pandangan yang disebut “perancangan cerdas”. Michael J. Behe, salah seorang yang paling terkemuka dari para ilmuwan ini, menyatakan bahwa ia menerima keberadaan yang absolut dari Sang Pencipta dan menerangkan kebuntuan mereka yang menyangkal fakta ini:
Usaha kumulatif meneliti sel - meneliti kehidupan di tingkat molekuler - menghasilkan sebuah teriakan tajam, jelas dan nyaring, "Desain!". Hasilnya sangat jelas dan begitu signifikan, sehingga harus dikategorikan sebagai sebuah pencapaian terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan. Keberhasilan ilmiah ini seharusnya membangkitkan teriakan “Eureka” dari 10.000 mulut.
Tapi, tidak ada botol yang dibuka, tidak ada tepukan tangan. Alih-alih, kerumitan yang luar biasa dari sebuah sel ini disambut dengan keheningan yang mengherankan. Ketika hal ini muncul di hadapan publik, kaki mulai bergoyang, dan nafas menjadi berat. Diam-diam orang-orang menjadi lebih santai: bayak yang secara eksplisit mengakui hal yang jelas itu tapi kemudian menatap ke lantai, bersalaman dan membiarkannya hilang begitu saja. Mengapa komunitas ilmuwan tidak antusias menyambut penemuan yang mengejutkan ini? Mengapa observasi desain ini diselimuti dengan tabir intelektual? Yang menjadi dilema adalah bahwa ketika satu sisi seekor gajah diberi label “intelligent design”, sisi yang lain harus diberi label “Tuhan”. 19
Dewasa ini, banyak orang bahkan tidak menyadari bahwa mereka berada pada posisi menerima sebentuk buah pikiran yang keliru sebagai kebenaran atas nama ilmu pengetahuan, alih-alih mempercayai Allah. Mereka yang tidak menganggap kalimat “Allah menciptakanmu dari kehampaan” sebagai cukup ilmiah dapat mempercayai bahwa makhluk hidup pertama muncul dari kilat yang menyambar “sup purba” miliaran tahun yang lalu.
Sebagaimana telah kita uraikan dalam buku ini, keseimbangan dalam alam teramat halus dan begitu banyak sehingga sangat tidak masuk akal untuk mengklaim bahwa mereka berkembang “melalui kebetulan”. Tidak peduli betapa banyak mereka yang tak dapat melepaskan diri mereka dari ketidakmasukalan ini berusaha, tanda-tanda Allah di langit dan bumi sangat jelas dan tak dapat disangkal.
Allah-lah Pencipta langit, bumi dan segala sesuatu di antara keduanya.
Tanda-tanda Keberadaan-Nya meliputi seluruh jagad raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar